MAQAM ZUHUD DALAM TASAWUF
MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas matakuliah
Tasawuf
Dosen Pengampu Umar Faruq, S.Ag., M.Fil.I
Disusun oleh:
Bayu Kurniawan 932501712
Norvita Desy Risanti 932507012
Qurun Azizah 932507612
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA ARAB
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) KEDIRI
2015
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Zuhud merupakan maqam penting dalam
tasawuf. Hali ini dapat dilihat dari pendapat beberapa ulama’ yang selalu
memcantumkan zuhud dalam maqam tasawuf meskipun dengan sistematika yang berbeda
– beda. Pentingnya zuhud dalam tasawuf karena melalui zuhud seorang sufi akan
mampu membawa dirinya pada kondisi pengkosongan kalbu dari selain Allah
SWT dan memenuhi kalbu dengan berdzikir
atau ingat kepada Allah. Dalam pandangan sufi dunia tidak bisa berada dalam
kalbu secara bersamaan dengan Tuhan[1].
Zuhud bukanlah suatu kependetaan atau
terputusnya kehidupan dunia, akan tetapi merupakan hikmah pemahaman yang
membuat manusia memiliki pandangan khusus terhadap kehidupan dunia itu, mereka
tetap bekerja dan berusaha tetapi kehidupan tidak bisa menguasai kalbunya dan
tidak mengingkari Tuhan. Masalah spiritual bagi manusia modern merupakan hal
yang tidak mudah untuk dipecahkan begitu saja. Dengan tidak mengingkari
berbagai kemajuan dan keberhasilan teknologi dunia. Menutup diri dan
menghindari dominasi kebudayaan barat berarti bunuh diri, sebab akan tertinggal
dari arus kemajuaan zaman modern tersebut[2].
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa yang dimaksud dengan zuhud ?
2.
Apa Hakikat Zuhud?
3.
Faktor apa saja yang mempengaruhi kemunculan zuhud?
4.
Bagaimana tingkatan (maqam) zuhud menurut para ulama’?
5.
Bagaimana zuhud yang bermanfaat dan sesuai syari’at?
6.
Bagaimana relevansi konsep zuhud dalam kehidupan
modern beserta penerapannya ?
BAB II
PAPARAN DATA
Pengertian
zuhud adalah mengosongkan
diri dari kesenangan dunia untuk ibadah. ( Dikutip dari Al-kalabazi, al-ta’arruf li mazhab ahl al-tasawwuf;
disunting oleh mahmud dar al-kutub al-hadisah(Mesir:1969) 112.
BAB III
PEMBAHASAN
A. Pengertian Zuhud
Secara etimologis, zuhud berarti raqaba ‘ansyai’in wa tarakahu,
artinya tidak tertarik terhadap sesuatu dan meninggalkannya. Zahada fi al-dunya
berarti mengosongkan diri dari kesenangan dunia untuk ibadah.[3]
Orang yang melakukan zuhud disebut zahid, zuhhad atau zahidun. Zahidah jamaknya
zuhdan. Artinya kecil atau sedikit.[4]
Berbicara tentang arti zuhud secara terminologis, maka tidak bisa
dilepaskan dari dua hal. Pertama, zuhud sebagai bagian yang tidak terpisahkan
dari tasawuf. Kedua zuhud sebagai moral (akhlak) islam dan gerakan protes.
Apabila tasawuf diartikan adanya kesadaran dan komunikasi langsung antara
manusia dengan Tuhan[5]
sebagai perwujudan ihsan, maka zuhud merupakan suatu stasiun (maqam) menuju tercapainya
“perjumpaan ” atau ma’rifat kepadaNya. Dalam posisi ini menurut A. Mukti Ali,
zuhud berarti menghindar dari berkehendak terhadap hal-hal yang bersifat
duniawi atau masi wa Allah. Dalam kaitan ini ‘Abdul al-hakim hasan menjelaskan
bahwa zuhud adalah “Berpaling dari dunia dan menghadapkan diri untuk beribadah.
Melatih dan mendidik jiwa, dan memerangi kesenangannya dengan semedi (khalwat),
berkelana, puasa, mengurangi makan, dan memperbanyak zikir”.[6]
B. Hakikat
Zuhud
Hakikat zuhud adalah menyingkirkan apa apa yang semestinya
disenangi dan diinginkan oleh hati, karena yakin ada sesuatu yang lebih baik
untuk meraih derajat yang tinggi di sisi Allah SWT.
Meskipun ada
kesamaan antara praktek zuhud dengan berbagai ajaran filsafat dan agama sebelum
islam, namun ada atau tidaknya ajaran filsafat maupun agama itu, zuhud tetap
ada dalam islam. Adapun ayat
yang menunjukkan bahwa kehidupan di akhirat lebih baik daripada kehidupan dunia
:
و ان الدار
الاخرة لهي الحيوان. لو كانوا يعلمون(العنكبوت:64)
Artinya : “ dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya
kehidupan, kalau mereka mengetahui”
Selanjutnya ada ayat yang mempersilahkan manusia memilih antara dua
pilihan :
و اما من طغى
واثر الحيوة الدنيا فان الجحيم هي المأوى واما من خاف مقام ربه ونهى النفس عن
الهوى فان الجنة هي المأوى (النازعات : 37-40)
Artinya : “ adapun orang-orang yang melampaui batas, dan lebih
mengutamakan kehidupan dunia, maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggalnya.
Adapun orang-orang yang takut kepada kebesarannya tuhanNya dan menahan diri
dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggalnya”
Nabi muhammad
saw. Banyak memberi gambaran tentang kehidupan dunia, bagaikan penjara bagi
seorang mukmin dan surga bagi orang kafir. Menurut beliau, dunia dibagi menjadi
tiga. Sepertiga dimakan, sepertiga dipakai, sepertiga diberikan (dishodaqohkan).
Hanya yang ketiga inilah yang akan dipetik hasilnya.
C. Zuhud
menurut para Tokoh
a. Hasan al – Bashri mengartikan zuhud adalah
“ tidak tamak terhadap kemewahan dunia dan tidak pula lari dari soal dunia,
tetapi selalu merasa cukup dengan apa yang ada”.
b. Ibrahim bin Adham memaknai zuhud adalah “
kebebasan (freedom) dalam artian bahwa manusia yang bebas adalah orang
yang telah keluar dari dunia sebelum ia benar – benar meninggalkannya”.
c. Al – Ghazali mengartikan zuhud adalah “berpaling
dari sesuatu yang dibenci kepada sesuatu yang lebih baik, benci dunia,
mencintai akhirat atau berpaling dari selain Allah kepada Allah SWT”.
d. Zuhud menurut Abd al –Qadir al – Jailani “
suatu sikap yang dilakukan sepenuh hati, tidak hanya dalam bentuk fisik dan
diucapkan dengan lisan, akan tetapi berada dihati sebagaimana taqwa dan cinta
kepada Allah SWT”.
e. Perilaku Zuhud bagi Hamka ialah “ orang
yang sudi miskin, sudi kaya, sudi tidak beruang sepeserpun, dan sudi jadi
milyuner, namun harta itu tidak menjadi sebab melupakan Tuhan dan lalai
kewajibannya.
D. Faktor –
faktor yang mempengaruhi kemunculan Zuhud
Adapun faktor yang mempengaruhi munculnya Zuhud. Harun Nasution
mencatat ada lima pendapat tentang asal usul Zuhud.
1.
Dipengaruhi oleh cara hidup rahib-rahib kristen.
2.
Dipengaruhi oleh phytagoras yang mengharuskan meninggalkan
kehidupan materi dalam rangka membersihkan roh.
3.
Dipengaruhi oleh ajaran plotinus yang menyatakan bahwa dalam rangka
penyucian roh yang telah kotor, sehingga bisa menyatu dengan tuhan harus
meninggalkan dunia.
4.
Pengaruh budha dengan faham nirwananya, bahwa untuk mencapainya
orang harus meninggalkan dunia dan memasuki hidup kontemplasi.
5.
Pengaruh ajaran hindu yang juga mendorong manusia untuk
meninggalkan dunia dan mendakatkan diri kepada Tuhan untuk mencapai persatuan
Atman dan Brahman.
· Sedangkan Abu
Ala Afifi mencatat empat pendapat, diantaranya :
1.
Berasal dari india dan persia.
2.
Berasal dari asketisme nasrani.
3.
Berasal dari berbagai sumber yang berbeda-beda kemudian menjelma menjadi satu ajaran.
4.
Berasal dari ajaran islam. untuk
faktor keempat ini afifi merinci lebih jauh menjadi tiga :
1.
Berasal dari Alqur’an dan al-sunnah,
2.
Reaksi rohaniah kaum muslimin terhadap sisitem sosial politik dan
ekonomi dikalangan islam sendiri,
3.
Reaksi terhadap fiqih dan ilmu kalam.
Hal yang dapat membangkitkan maqām zuhd adalah dengan merenung
(ta’ammul). Jika seorang sālik benar-benar merenungkan dunia ini, maka dia akan
mendapati dunia hanya sebagai tempat bagi yang selain Allah, dia akan
mendapatinya hanya berisikan kesedihan, kesusahan dan kekeruhan. Jikalau sudah
demikian, maka sālik akan zuhd terhadap dunia. Dia tidak akan terbuai dengan
segala bentuk keindahan dunia yang menipu.
Adapun hal-hal yang mendorong seseorang hidup zuhud :
1. Keimanan yang kuat dan selalu ingat bagaimana ia berdiri di
hadapan Allah pada hari kiamat guna mempertanggung-jawabkan segala amalnya,
yang besar maupun yang kecil, yang tampak ataupun yang tersembunyi. Ingat!
betapa dahsyatnya peristiwa datangnya hari kiamat kelak. Hal itu akan membuat
kecintaannya terhadap dunia dan kelezatannya menjadi hilang dalam hatinya,
kemudian meninggalkannya dan merasa cukup dengan hidup sederhana.
2. Merasakan bahwa dunia itu membuat hati terganggu dalam
berhubungan dengan Allah, dan membuat seseorang merasa jauh dari kedudukan yang
tinggi di akhirat kelak, dimana dia akan ditanya tentang kenikmatan dunia yang
telah ia peroleh, sebagaimana firman Allah,
“Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan
(yang kamu megah-megahkan di dunia itu).” (QS. At-Takaatsur: 6)
Perasaan seperti ini akan mendorong seorang hamba untuk hidup
zuhud.
3. Dunia hanya akan didapatkan dengan susah payah dan kerja keras,
mengorbankan tenaga dan pikiran yang sangat banyak, dan kadang-kadang terpaksa
harus bergaul dengan orang-orang yang berperangai jahat dan buruk. Berbeda
halnya jika menyibukkan diri dengan berbagai macam ibadah; jiwa menjadi tentram
dan hati merasa sejuk, menerima takdir Allah dengan tulus dan sabar, ditambah
akan menerima balasan di akhirat. Dua hal di atas jelas berbeda dan (setiap
orang) tentu akan memilih yang lebih baik dan kekal.
4. Merenungkan ayat-ayat Al-Qur’an yang banyak menyebutkan tentang
kehinaan dan kerendahan dunia serta kenikmatannya yang menipu (manusia). Dunia
hanyalah tipu daya, permainaan dan kesia-siaan belaka. Allah mencela
orang-orang yang mengutamakan kehidupan dunia yang fana ini daripada kehidupan
akhirat, sebagaimana dalam firman-Nya,
“Adapun orang yang melampaui batas, dan lebih mengutamakan
kehidupan dunia, maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggal(nya).” (QS.
An-Naaziat: 37-39)
Dalam ayat yang lainnya Allah berfirman,
“Tetapi kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi. Sedang
kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.” (QS. Al-A’laa: 16-17)
Semua dalil-dalil, baik dari Al-Qur’an maupun as-Sunnah, mendorong
seorang yang beriman untuk tidak terlalu bergantung kepada dunia dan lebih
mengharapkan akhirat yang lebih baik dan lebih kekal.
Maqām zuhd tidak dapat tercapai jika dalam hati sālik masih
terdapat rasa cinta kepada dunia, dan rasa hasud kepada manusia yang diberi
kenikmatan duniawi. Alangkah indahnya apa yang dikatakan oleh Ibn ‘Aţā’illah:
”Cukuplah kebodohan bagimu jika engkau hasud kepada mereka yang diberi
kenikmatan dunia. Namun, jika hatimu sibuk dengan memikirkan kenikmatan dunia
yang diberikan kepada mereka, maka engkau lebih bodoh daripada mereka. Karena
mereka hanya disibukkan dengan kenikmatan yang mereka dapatkan, sedangkan
engkau disibukkan dengan apa yang tidak engkau dapatkan”.
Inti dari zuhd adalah keteguhan jiwa, yaitu tidak merasa bahagia
dengan kenikmatan dunia yang didapat, dan tidak bersedih dan putus asa atas
kenikmatan dunia yang tidak didapat.
E. Maqam (tingkatan)
Zuhud
Ø
Untuk mengkaji makna zuhud, dapat dibedakan kepada tiga peringkat yang
meliputi:
1.
Zuhud dalam shubhat
setelah meninggalkan yang haram kerana tidak menyukai
celaan di mata Allah, tidak suka kepada kekurangan dan tidak
suka bergabung dengan orang-orang fasiq. Zuhud
dalam shubhat bermakna
meninggalkan hal-hal yang meragukan, apakah sesuatu itu
halal atau haram dalam pandangan zahid. Contohnya, shubhat merupakan pembatas
seperti kematian dan kehidupan sesudahnya yang menjadi pembatas antara dunia
dan akhirat, kederhakaan yang menjadi pembatas antara iman dan kufur,
2.
Zuhud dalam perkara-perkara yang berlebihan iaitu sesuatu yang
lebih daripada kelaziman dengan melepaskan kerisauan hati dan dengan mencontohi
para nabi dan siddiqin. Contohnya teladan doa dalam aspek
makan, minum, pakaian, tempat tinggal dan lain-lainnya. Jika
sufi memenuhi teladan ini untuk menambah kekuatan dalam melakukan
hal yang dicintai dan diredai Allah dan menjauhi yang dimurkaiNya,
maka itu dinamakan sebagai mengisi waktu sekalipun dia
mendapat kenikmatan kerana menggunakan hal tersebut,
3. Zuhud dalam zuhud
yang dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu
menghina perbuatan zuhud,
menyeimbangkan keadaan ketika mendapat dan meninggalkan sesuatu dan ingin
memperoleh balasan. Orang yang memenuhi hatinya dengan kecintaan kepada Allah
tidak layak melihat keduniaan yang ditinggalkannya sebagai suatu pengorbanan.
Sebagaimana seorang sufi, oleh kerana kecintaannya kepada Allah, maka seorang
ahli sufi beribadah dan meninggalkan perkara-perkara lain seperti kepentingan
dan kemewahan dunia dengan tujuan untuk mencapai kecintaan Allah SWT.
Ø Imam Ahmad Ibnu
Hambal mengklasifikasikan tingkatan zuhud yaitu:
1.
Zuhudnya orang sipil adalah meninggalkan hal hal yang haram
2.
Zuhud orang orang yang khawas (khusus) yaitu meninggalkan hal yang
berlebih lebihan (al fudhul) meskipun barang halal.
3.
Zuhud orang Arif yaitu meninggalkan segala sesuatu yang dapat memalingkan
dari mengingat ALLAH.
Ø Al Imam Ghazali
pula membagi zuhud atas tiga tingkat yakni:
1. Tingkat
terendah adalah menjauhkan dunia agar terhindar dari hukuman di akhirat,
2. Tingkat kedua
adalah mereka yang menjauhi dunia karena ingin mendapatkan imbalan di akhirat,
3. Tingkat
tertinggi adalah zuhud yang ditempuh bukan lagi karena takut atau harap, tapi
semata mata karena cinta kepada Allah SWT.
Ø Menurut Syeikh
Abdus Samad Al Palimbani, proses kehidupan zuhud itu ada 3 tingkat. Pada
semua tingkat proses kezuhudan tersebut baik di tingkat awal maupun akhir, para
zahid harus membentengi dirinya dengan sifat2 wara 'atau wira’i yaitu
menjaga diri dari hal – hal yang haram
dan hal – hal
subahat serta segala sesuatu yang meragukan.
1. Tingkat Pertama
Zuhud awal (mubtadi’) adalah
kezuhudan seseorang yang dalam hatinya masih ada rasa cinta kepada keduniaan,
namun demikian dia bersungguh sungguh melawan hawa nafsunya. Maka, pada tingkat
awal inilah seorang zahid harus melatih diri untuk bersikap wara’.
Wara’ bagi
zahid pemula dapat diartikan sebagai sifat dan sikap hidup seseorang yang
selalu meninggalkan hal hal subahat yaitu segala sesuatu yang belum jelas hala,
atau haram. Sebagaimana di terangkan dalam hadis Nabi SAW ”Yang
halal sudah jelas dan yang haram juga sudah jelas. Tapi di antara keduanya ada
hal yang masih Samara Samara (subahat). Mengambil yang subahat dapat
menyebabkan kita jatuh ke dalam larangan Tuhan”.
2. Tingkat Kedua
Zuhud orang yang hatinya sudah meninggalkan dunia, hatinya tidak
lagi tertarik kepada dunia. Pada tahap ini orang orang zahid dituntut
meningkatkan sikap wara’nya ke tingkat yang lebih tinggi, yaitu wira’i yang
biasa diartikan sebagai sikap hidup meninggalkan segala sesuatu yang meragukan
dalam hati, sebagaimana sabda Nabi SAW “Tinggalkan
apa yang meragukanmu pada apa yang tidak meragukan”, Ini karena keraguan itu
merupakan bagian dari angkara setan agar manusia menjadi was was atau syak.
Nabi SAW juga pernah mengingatkan, bahwa hakikat dosa sesungguhnya terletak
pada apa yang diragukan oleh hati nurani. Karena itu ia mengajarkan manusia
agar selalu bertanya dan minta pertimbangan pada hati nuraninya yang benar.
Berdasarkan dua
tahap proses kezuhudan tersebut di atas, seorang zahid dapat naik ke tingkat
zuhud yang paling tinggi nilainya yaitu zuhud muntahi; zuhudnya golongan orang
yang sudah makrifatullah (arifin). Bagi mereka, dunia dan segala isinya ini
sudah tidak ada nilainya lagi sehingga segenap hati dan pikiran mereka sudah
menghadap ke akhirat. Maka zahid pada tingkat yang tertinggi ini memilikki
cirri cirri ruhaniah amat tinggi maqamnya. Hatinya tidak lagi bersuka ria
karena memperoleh sesuatu dan tidak pula bersedih karena kehilangan sesuatu;
orang yang memujinya, dan orang yang mencelanya dianggap sama saja, dan dia
selalu merasa dekat dengan Tuhan dan merasakan nikmatnya ibadah. Seiring dengan
tingkat kezuhudan yang dicapai oleh para zahid muntahi ini, maka sifat sifat
wira’i yang dimilikki mereka pun merupakan nilai nilai hakiki yang tinggi.
Mereka menjalani wira’i dalam arti meninggalkan segala sesuatu yang dapat
membuat seseorang lalai dan lupa kepada Allah SWT walau sekejap saja dianggap
sebagai dosa. Inilah puncak hakikat zuhud dan wira’i yang sesungguhnya.
Zuhud tingkat
pertama adalah kalangan orang awam, zuhud tingkat kedua adalah dikalangan para
Salik yang saleh dan tingkat terakhir ini hanya dapat dimilikki oleh orang
orang yang lebih khusus atau khawas al khawas yaitu para Sufi sebagai orang
orang yang arif bijaksana
F. Cara Mencapai
Tingkatan Zuhud
Menurut Imam
Al-Ghazali ada tiga cara mencapai tingkatan zuhud, yakni : Pertama,
memaksa diri untuk mengendalikan hawa nafsunya. Kedua, sukarela
meninggalkan pesona dunia karena dipandang kurang penting. Ketiga, tidak
merasakan zuhud sebagai beban, karena dunia dipandang bukan apa-apa bagi
dirinya.
Sementara itu, Ibrahim bin Adham pernah ditanya seorang lelaki,
“Bagaimana cara engkau mencapai derajat orang zuhud?” Ibrahim menjawab,”Dengan
tiga hal, pertama, aku melihat kuburan itu sunyi dan menakutkan, sedang
aku tidak menemukan orang yang dapat menentramkan hatiku di sana. Kedua,
aku melihat perjalanan hidup menuju akherat itu amat jauh, sedang aku tidak
memiliki cukup bekal. Ketiga, aku melihat Rabb Yang Maha Kuasa
menetapkan satu keputusan atasku, sedang aku tidak punya alasan untuk menolak
keputusan itu.” (Abu Ishak Ibrahim bin Adham Al Balkhi)
G.
Zuhud yang Bermanfaat dan Sesuai dengan Syari’at
Zuhud yang disyariatkan dan bermanfaat bagi orang yang menjalaninya
adalah zuhud yang dicintai oleh Allah dan rasul-Nya, yaitu meninggalkan segala
sesuatu yang tidak bermanfaat demi menggapai kehidupan akhirat. Adapun sesuatu
yang memberi manfaat bagi kehidupan akhirat dan membantu untuk menggapainya,
maka termasuk salah satu jenis ibadah dan ketaatan. Sehingga berpaling dari
sesuatu yang bermanfaat merupakan kejahilan dan kesesatan sebagaimana sabda
Nabi, “Carilah apa yang bermanfaat bagi dirimu dan mintalah pertolongan
kepada Allah dan jangan lemah.” (HR. Muslim hadits no. 4816)
Yang bermanfaat bagi seorang hamba adalah beribadah kepada Allah,
menjalankan ketaatan kepada-Nya dan kepada rasul-Nya. Dan semua yang
menghalangi hal ini adalah perkara yang mendatangkan kemudharatan dan tidak
bermanfaat. Yang paling berguna bagi seorang hamba adalah mengikhlaskan seluruh
amalnya karena Allah. Orang yang tidak memperhatikan segala yang dicintai dan
dibenci oleh Allah dan rasul-Nya akan banyak menyia-nyiakan kewajiban dan jatuh
ke dalam perkara yang diharamkan; meninggalkan sesuatu yang merupakan
kebutuhannya seperti makan dan minum; memakan sesuatu yang dapat merusak
akalnya sehingga tidak mampu menjalankan kewajiban; meninggalkan amar ma’ruf
nahi munkar; meningalkan jihad di jalan Allah karena dianggap mengganggu dan
merugikan orang lain. Pada akhirnya, orang-orang kafir dan orang-orang jahat
mampu menguasai negeri mereka dikarenakan meninggalkan jihad dan amar ma’ruf tanpa
ada maslahat yang nyata.
Allah
berfirman yang
artinya “Mereka
bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah, ‘Berperang
dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi (manusia) dari jalan
Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidilharam dan mengusir
penduduknya dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah. Dan berbuat
fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh”. (QS.
Al-Baqarah: 217)
Allah menjelaskan dalam ayat ini, walaupun membunuh jiwa itu
merupakan keburukan, akan tetapi fitnah yang ditimbulkan oleh kekufuran,
kezaliman dan berkuasanya mereka (orang-orang kafir) lebih berbahaya dari
membunuh jiwa. Sehingga menghindari keburukan yang lebih besar dengan melakukan
keburukan yang lebih ringan adalah lebih diutamakan. Seumpama orang yang tidak
mau menyembelih hewan dengan dalih bahwa perbuatan tersebut termasuk aniaya
terhadap hewan. Orang seperti ini adalah jahil, karena hewan tersebut pasti
akan mati. Disembelihnya hewan tersebut untuk kepentingan manusia adalah lebih
baik daripada mati tanpa mendatangkan manfaat bagi seorang pun. Manusia lebih
sempurna dari hewan, dan suatu kebaikan tidak mungkin bisa sempurna untuk
manusia kecuali dengan memanfaatkannya, baik untuk dimakan, dijadikan sebagai
kendaraan atau yang lainya. Yang dilarang oleh Nabi adalah menyiksanya dan
tidak menunaikan hak-haknya yang telah tetapkan oleh Allah.
Nabi
bersabda yang artinya,“ Sesungguhnya
Allah telah mewajibkan berbuat baik atas segala sesuatu, maka jikalau kalian
membunuh, bunuhlah dengan baik, dan jika kalian menyembelih maka sembelihlah
dengan baik, hendaklah salah seorang diantara kalian menajamkan pisaunya dan
menyenangkan sembelihannya.” (HR. Muslim hadits no. 3615).
URGENSI
ZUHUD DI ABAD MODERN
Islam
diturunkan sebagai rahmatan lil 'lamiin, di turunkan dalam kontels zamannya
untuk memecahkan problema kemasyarakatan pada masa itu. Konteks dan latar
belakang perjuangan Rasulullah dalam situasi dan kondisi arab quraisy waktu
itu. Pada masa sekarang harus dipahami dalam konteksnya yang tepat yaitu
pemahaman yang mondar-mandir, memasukkan konteks kekinian ke masa di turunkn
Al-qur'an dan kembali lagi ke masa kini. Pemahaman ini akan menjamin
aktualisasi dan kemampuan islam menjawab tantangan zaman sepanjang
sejarah.
Rumusan
ajaran tasawuf klasik, khususnya yang menyangkut konsep zuhud sebagai maqom
yang di artikan sebagai sikap menjauhi dunia dan isolasi terhadap keramaian
duniawi, karena semata-mata ingin bertemu dan ma'rifat kepada Allah SWT, sebagaimana
dirumuskan oleh ulama' terdahulu . disisi lain, hal tersebut bisa diberi makna
bahwa situasi dan kondisi pada waktu itu menghendaki demikian, yakni sebagai
reaksi terhadap sistem sosial, politik, dan ekonomi.
Ketika islam
telah tersebar kemana-mana, tentunya membawa konsekwensi tersendiri, seperti
lahirnya kemakmuran negara islam, disatu pihak, dan pertikaian politik interen
umat islam dipihak lain sehingga menimbulkan perang saudara yang berawal dari
al-fitn al-kubro, serta perilaku yang semena-mena elite politik pada masa itu.
Melihat keadaan
demikian, ada sebagian umat islam, khusunya ulama' yang menjauhkan diri dari
keramaian dunia (uzlah), lari ke goa-goa dan ke gunung-gunung agar tidak
terlibat hal-hal tersebut. Selanjutnya, sebagaimana zuhud sebagai upaya
pembentukan sikap terhadap dunia dimasa modern seperti ini. Masyarakat modern
ialah masyarakat yang cenderung menjadi sekuler. Hubungan antara anggota
masyarakat tidak lagi atas dasar prinsip tradisi atau persaudaraan, tetapi pada
prinsip-prinsip fungsional fragmatis. Masyarakatnya merasa bebas dan lepas dari
kontrol agama dan pandangan dunia metafisis, ciri-cirinya yang lain adalah
penghilangan nilai-nilai sakral terhadap dunia, meletakkan hidup manusia dalam
konteks kenyataan sejarah dan hanya terlihat nilai-nilai.
Ata muzhar
mengatakan bahwa masyarakat modern ditandai oleh 5 hal, yakni: Pertama,
berkembangnya mass culture karena pengaruh kemajuan mass media sehingga kultur
tidak lagi bersifat lokal, melainkan nasional, atau bahkan global. Kedua,
tumbuhnya sikap-sikap yang lebih mengakui kebebasan bertindak manusia menuju
perubahan masa depan. Dengan demikian alam dapat di takhlukkan, manusia merasa
lebih leluasa kalau bukan merasa ebih berkuasa. Ketiga, tumbuhnya berfikir
rasional, sebagian besar kehidupan umat manusia ini semakin diatur oleh
aturan-aturan rasional. Keempat, tumbuhnya sikap hidup yang materialistik,
artinya semua hal di ukur oleh nilai kebendaan dan ekonomi. Kelima,
meningkatnya laju urbanisasi.
Dalam
tasawuf dikenal zuhud sebagai satu maqam untuk menuju jenjang kehidupan
tasawuf, namun disisi lain ia merupakan moral islam. Dalam posisi ini ia tidak
berarti suatu tindakan pelarian dari kehidupan dunia nyata ini, akan tetapi ia
adalah suatu usaha mempersenjatai diri dengan nilai-nilai rohaniah baru yang
akan menegakkannya saat menghadapi problema hidup dan kehidupan yang serba
materialistik, dan berusaha merealisasikan
keseimbangan jiwanya sehingga timbulkemampuan mennghadapinya dengan sikap
jantan. Kehidupan ini hanyalah sekedar sarana, bukan tujuan. Seorang zahid
mengamil dunia atau materi secukupnya tidak terjerat cinta padanya. Hal ini
tidak berarti suatu usaha pemiskinan, akan tetapi dunia dan materi itu dimiliki
dengan sikap tertentu, yakni menyiasatinya agar dunia dan materi itu menjadi
bernilai akherat, semuanya dijadikan sarana beribadah kepada Allah SWT.
Sebagai akibat
mdernisasi dan industrialisasi, kadang-kadang manusia mengalami degradasi moral
yang dapat menjatuhkan harkat dan martabatnya, meluncur bagaikan binatang,
bahkan lebih hina daripadanya. Ini adalah akibat dari adanya mass culture
tersebut. Kehidupan modern saat ini menampilkan sifat-sifat yang kurang dan
tidak terpuji, terutama dalam menghadapi materi yang gemerlap ini, antara lain
sifat at-tama' yaitu sifat loba, dan sifat al-hirs yaitu sifat keinginan yang
berlebih-lebihan terhadap materi. Dari sifat ini tumbuh perilaku menyimpang
seperti korupsi dn manipulasi.
Dalam
tasawuf terhadap rinsip-prinsip positif yang mampu menumbuhkan masa depan
masyarakat, antara lain hendaknya selalu mengadakan intropeksi, berwawasan
hidup moderat, tidak terjerat oleh nafsu rendah, sehingga lupa pada diri dan
tuhannya. Dalam menempuh jenjang kesempurnaan rohani, dikenal tahapan:
takhalli, tahalli, dan tajalli. Dalam takhalli terdapat ciri moralitas islam,
yakni menghindarkan diri dari sifat-sifat tercela, baik secara vertikal maupun
horisontal, misalnya at-tama', al-hirs, al-hasad, takabur, dan sebagainya.
Tahalli merupakan pengungkapan secara progresif nilai moral yang terdapat dalam
islam, misalnya zuhud yang oleh sebagian ulama' sebagai awal kehidupan tasawuf.
Zuhud sebagai sikap sederhana dalam kehidupan berdasarkan motif agama, akan
bisa menanggulangi sifat at-tama'dan sifat al-hirs tadi. Imam ahmad ibu
hanbalmenyebutkan ada tiga tahap zuhud:
Pertama, zuhud dalam arti
meninggalkan yang haram, ini adalah zuhudnya orang awam.
Kedua, zuhud dalam arti meninggalkan
hal-hal yang berlebih-lebihan dalam perkara yang halal, ini adalah zuhudnya
orang khawas (istimewa): dan
Ketiga, zuhud dalam arti
meninggalkan apa saja yang memalingkan dii dari Allah SWT, ini adalah zuhudnya
orang arif(orang yang telah mengenal tuhan).[7]
Zuhud melahirkan sikap menahan diri
dan memanfaatkan harta untuk kepentingan produktif . zuhud mendorong untuk mengubah
harta bukan saja aset ilahiyah yang mempunyai nilai ekonomis, tetapi juga
sebagai aset sosial dan mempunyai tanggungjawab pengawasan aktif trhadap
pemanfaatan harta dalam masyarakat.[8]
Dengan demikian, zuhud dapat dijadikan benteng untuk membangun diri dari dalam
diri sendiri, terutama dalam menghadapi gemerlapnya materi. Dengan zuhud, akan
tampil sifat positif lainnya seperti sifat qana'ah, tawakkal, wira'i, sabar,
dan syukur. Yang perlu diketahui bahwa sifat-sifat itu merupakan bekal
menghadapi kenyataan hidup ini bukan menjadikan seseorang pasif, seperti tidak
mau berusaha mencari nafkah, eksklusif dan menarik diri dari keramaian dunua,
tetapi sebaliknya, sebab seorang muslim hidup di dunia ini membawa amanah,
yakni membawa fungsi kekholifahanyang berarti sebagai pengganti tuhan,
pengelola, pemakmur, dan yang meramaikan dunia ini.
Setelah seseorang telah mampu
menguasai dirinya, dapat menanamkan sifat-sifat terpuji dalam jiwanya, maka
sudah barang tentu hatinya menjadi jernih, ketenangan dan ketentraman memancar
dari hatinya. Inilah hasil yang dicapai seseorang, yang dalam tasawuf disebut
tajalli, yaitu sampainya nur ilahi dalam hatinya. Dalam keadaan yang demikian
ini, seseorang bisa membedakan mana yang
baik dan yang tidak baik, mana yang batal dan mana yang haq. Dan secara khusus,
tajalli berarti ma'rifatullah, melihat tuhan dengan matahati, dengan rasa.
Capaian terakhir in merupakan puncak
kebahagiaan seorang sufi. Orang seperti ini akan mencapai tuma'ninah al-qalb,
ketenangan hati yang merupakan pangkal kebahagiaan seseorang, baik bahagia di
dunia maupun di akherat. Orang yang demikian inihidupnya penuh dengan
optimisme, tidak mungkin tergoda oleh stuasi dan kondisi yang melingkupinya,
bisa menguasai diri dan menyesuaikan diri di tengah-tengah deru modernisasi dan
industrialisasi.
[3]Lois ma’luf
al-yasu’i, al-munjid..,op..cit., hlm. 308. Lihat pula ahmad warsun
munawir, al-munawir:kamus bahasa arab-indonesia, PP. Al-munawwir,
yogyakarta, 1984, hlm.626.
[4]Ibid., hlm.
308.
[5]Harun Nasution,
filsafat dan mistisme islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1978, hlm. 56.
[6]Abd al-hakim
hasan, al-tasawuf fi syi’r al- ‘araby, al-anjalu al-misriyyah, mesir,
1954, hlm. 42.
[7] Ibn Qayyim al-jauziyah,
madarij al-salikin, jilid II, edisi muhammad hamid al-Faqi, Dar al-Rasyad
wa al-hadis, tt., hlm. 12.
0 komentar:
Posting Komentar