Kamis, 07 Mei 2015

maqam zuhud

Diposting oleh Ayam Maknyuss di 07.11
MAQAM ZUHUD DALAM TASAWUF
MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas matakuliah
Tasawuf
Dosen Pengampu   Umar Faruq, S.Ag., M.Fil.I



Disusun oleh:
Bayu Kurniawan                     932501712
Norvita Desy Risanti              932507012
Qurun Azizah                         932507612


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA ARAB
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) KEDIRI
2015
BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang

Zuhud merupakan maqam penting dalam tasawuf. Hali ini dapat dilihat dari pendapat beberapa ulama’ yang selalu memcantumkan zuhud dalam maqam tasawuf meskipun dengan sistematika yang berbeda – beda. Pentingnya zuhud dalam tasawuf karena melalui zuhud seorang sufi akan mampu membawa dirinya pada kondisi pengkosongan kalbu dari selain Allah SWT  dan memenuhi kalbu dengan berdzikir atau ingat kepada Allah. Dalam pandangan sufi dunia tidak bisa berada dalam kalbu secara bersamaan dengan Tuhan[1].
Zuhud bukanlah suatu kependetaan atau terputusnya kehidupan dunia, akan tetapi merupakan hikmah pemahaman yang membuat manusia memiliki pandangan khusus terhadap kehidupan dunia itu, mereka tetap bekerja dan berusaha tetapi kehidupan tidak bisa menguasai kalbunya dan tidak mengingkari Tuhan. Masalah spiritual bagi manusia modern merupakan hal yang tidak mudah untuk dipecahkan begitu saja. Dengan tidak mengingkari berbagai kemajuan dan keberhasilan teknologi dunia. Menutup diri dan menghindari dominasi kebudayaan barat berarti bunuh diri, sebab akan tertinggal dari arus kemajuaan zaman modern tersebut[2].
B.      Rumusan Masalah
1.       Apa yang dimaksud dengan zuhud ?
2.       Apa Hakikat Zuhud?
3.       Faktor apa saja yang mempengaruhi kemunculan zuhud?
4.       Bagaimana tingkatan (maqam) zuhud menurut para ulama’?
5.       Bagaimana zuhud yang bermanfaat dan sesuai syari’at?
6.       Bagaimana relevansi konsep zuhud dalam kehidupan modern beserta penerapannya ?


BAB II
PAPARAN DATA
Pengertian zuhud adalah mengosongkan diri dari kesenangan dunia untuk ibadah. ( Dikutip dari Al-kalabazi, al-ta’arruf li mazhab ahl al-tasawwuf; disunting oleh mahmud dar al-kutub al-hadisah(Mesir:1969) 112.



















BAB III
PEMBAHASAN
A.      Pengertian Zuhud
Secara etimologis, zuhud berarti raqaba ‘ansyai’in wa tarakahu, artinya tidak tertarik terhadap sesuatu dan meninggalkannya. Zahada fi al-dunya berarti mengosongkan diri dari kesenangan dunia untuk ibadah.[3] Orang yang melakukan zuhud disebut zahid, zuhhad atau zahidun. Zahidah jamaknya zuhdan. Artinya kecil atau sedikit.[4]
Berbicara tentang arti zuhud secara terminologis, maka tidak bisa dilepaskan dari dua hal. Pertama, zuhud sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari tasawuf. Kedua zuhud sebagai moral (akhlak) islam dan gerakan protes. Apabila tasawuf diartikan adanya kesadaran dan komunikasi langsung antara manusia dengan Tuhan[5] sebagai perwujudan ihsan, maka zuhud merupakan suatu stasiun (maqam) menuju tercapainya “perjumpaan ” atau ma’rifat kepadaNya. Dalam posisi ini menurut A. Mukti Ali, zuhud berarti menghindar dari berkehendak terhadap hal-hal yang bersifat duniawi atau masi wa Allah. Dalam kaitan ini ‘Abdul al-hakim hasan menjelaskan bahwa zuhud adalah “Berpaling dari dunia dan menghadapkan diri untuk beribadah. Melatih dan mendidik jiwa, dan memerangi kesenangannya dengan semedi (khalwat), berkelana, puasa, mengurangi makan, dan memperbanyak zikir”.[6]
B.      Hakikat Zuhud
Hakikat zuhud adalah menyingkirkan apa apa yang semestinya disenangi dan diinginkan oleh hati, karena yakin ada sesuatu yang lebih baik untuk meraih derajat yang tinggi di sisi Allah SWT. 
Meskipun ada kesamaan antara praktek zuhud dengan berbagai ajaran filsafat dan agama sebelum islam, namun ada atau tidaknya ajaran filsafat maupun agama itu, zuhud tetap ada dalam islam. Adapun ayat yang menunjukkan bahwa kehidupan di akhirat lebih baik daripada kehidupan dunia :
و ان الدار الاخرة لهي الحيوان. لو كانوا يعلمون(العنكبوت:64)
Artinya : “ dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui”
Selanjutnya ada ayat yang mempersilahkan manusia memilih antara dua pilihan :
و اما من طغى واثر الحيوة الدنيا فان الجحيم هي المأوى واما من خاف مقام ربه ونهى النفس عن الهوى فان الجنة هي المأوى (النازعات : 37-40)
Artinya : “ adapun orang-orang yang melampaui batas, dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggalnya. Adapun orang-orang yang takut kepada kebesarannya tuhanNya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggalnya”
Nabi muhammad saw. Banyak memberi gambaran tentang kehidupan dunia, bagaikan penjara bagi seorang mukmin dan surga bagi orang kafir. Menurut beliau, dunia dibagi menjadi tiga. Sepertiga dimakan, sepertiga dipakai, sepertiga diberikan (dishodaqohkan). Hanya yang ketiga inilah yang akan dipetik hasilnya.
C.      Zuhud menurut para Tokoh
a.      Hasan al – Bashri mengartikan zuhud adalah “ tidak tamak terhadap kemewahan dunia dan tidak pula lari dari soal dunia, tetapi selalu merasa cukup dengan apa yang ada”.
b.     Ibrahim bin Adham memaknai zuhud adalah “ kebebasan (freedom) dalam artian bahwa manusia yang bebas adalah orang yang telah keluar dari dunia sebelum ia benar – benar meninggalkannya”.
c.      Al – Ghazali mengartikan zuhud adalah “berpaling dari sesuatu yang dibenci kepada sesuatu yang lebih baik, benci dunia, mencintai akhirat atau berpaling dari selain Allah kepada Allah SWT”.
d.     Zuhud menurut Abd al –Qadir al – Jailani “ suatu sikap yang dilakukan sepenuh hati, tidak hanya dalam bentuk fisik dan diucapkan dengan lisan, akan tetapi berada dihati sebagaimana taqwa dan cinta kepada Allah SWT”.
e.      Perilaku Zuhud bagi Hamka ialah “ orang yang sudi miskin, sudi kaya, sudi tidak beruang sepeserpun, dan sudi jadi milyuner, namun harta itu tidak menjadi sebab melupakan Tuhan dan lalai kewajibannya.  

D.      Faktor – faktor yang mempengaruhi kemunculan Zuhud
Adapun faktor yang mempengaruhi munculnya Zuhud. Harun Nasution mencatat ada lima pendapat tentang asal usul Zuhud.
1.       Dipengaruhi oleh cara hidup rahib-rahib kristen.
2.       Dipengaruhi oleh phytagoras yang mengharuskan meninggalkan kehidupan materi dalam rangka membersihkan roh.
3.       Dipengaruhi oleh ajaran plotinus yang menyatakan bahwa dalam rangka penyucian roh yang telah kotor, sehingga bisa menyatu dengan tuhan harus meninggalkan dunia.
4.       Pengaruh budha dengan faham nirwananya, bahwa untuk mencapainya orang harus meninggalkan dunia dan memasuki hidup kontemplasi.
5.       Pengaruh ajaran hindu yang juga mendorong manusia untuk meninggalkan dunia dan mendakatkan diri kepada Tuhan untuk mencapai persatuan Atman dan Brahman.
·       Sedangkan Abu Ala Afifi mencatat empat pendapat, diantaranya :
1.   Berasal dari india dan persia.
2.   Berasal dari asketisme nasrani.
3.   Berasal dari berbagai sumber yang berbeda-beda  kemudian menjelma menjadi satu ajaran.
4.   Berasal dari ajaran islam. untuk faktor keempat ini afifi merinci lebih jauh menjadi tiga :
1.       Berasal dari Alqur’an dan al-sunnah,
2.       Reaksi rohaniah kaum muslimin terhadap sisitem sosial politik dan ekonomi dikalangan islam sendiri,
3.       Reaksi terhadap fiqih dan ilmu kalam.
Hal yang dapat membangkitkan maqām zuhd adalah dengan merenung (ta’ammul). Jika seorang sālik benar-benar merenungkan dunia ini, maka dia akan mendapati dunia hanya sebagai tempat bagi yang selain Allah, dia akan mendapatinya hanya berisikan kesedihan, kesusahan dan kekeruhan. Jikalau sudah demikian, maka sālik akan zuhd terhadap dunia. Dia tidak akan terbuai dengan segala bentuk keindahan dunia yang menipu.

Adapun hal-hal yang mendorong seseorang hidup zuhud :
1. Keimanan yang kuat dan selalu ingat bagaimana ia berdiri di hadapan Allah pada hari kiamat guna mempertanggung-jawabkan segala amalnya, yang besar maupun yang kecil, yang tampak ataupun yang tersembunyi. Ingat! betapa dahsyatnya peristiwa datangnya hari kiamat kelak. Hal itu akan membuat kecintaannya terhadap dunia dan kelezatannya menjadi hilang dalam hatinya, kemudian meninggalkannya dan merasa cukup dengan hidup sederhana.

2. Merasakan bahwa dunia itu membuat hati terganggu dalam berhubungan dengan Allah, dan membuat seseorang merasa jauh dari kedudukan yang tinggi di akhirat kelak, dimana dia akan ditanya tentang kenikmatan dunia yang telah ia peroleh, sebagaimana firman Allah,

“Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu).” (QS. At-Takaatsur: 6)

Perasaan seperti ini akan mendorong seorang hamba untuk hidup zuhud.

3. Dunia hanya akan didapatkan dengan susah payah dan kerja keras, mengorbankan tenaga dan pikiran yang sangat banyak, dan kadang-kadang terpaksa harus bergaul dengan orang-orang yang berperangai jahat dan buruk. Berbeda halnya jika menyibukkan diri dengan berbagai macam ibadah; jiwa menjadi tentram dan hati merasa sejuk, menerima takdir Allah dengan tulus dan sabar, ditambah akan menerima balasan di akhirat. Dua hal di atas jelas berbeda dan (setiap orang) tentu akan memilih yang lebih baik dan kekal.

4. Merenungkan ayat-ayat Al-Qur’an yang banyak menyebutkan tentang kehinaan dan kerendahan dunia serta kenikmatannya yang menipu (manusia). Dunia hanyalah tipu daya, permainaan dan kesia-siaan belaka. Allah mencela orang-orang yang mengutamakan kehidupan dunia yang fana ini daripada kehidupan akhirat, sebagaimana dalam firman-Nya,

“Adapun orang yang melampaui batas, dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggal(nya).” (QS. An-Naaziat: 37-39)

Dalam ayat yang lainnya Allah berfirman,

“Tetapi kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi. Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.” (QS. Al-A’laa: 16-17)

Semua dalil-dalil, baik dari Al-Qur’an maupun as-Sunnah, mendorong seorang yang beriman untuk tidak terlalu bergantung kepada dunia dan lebih mengharapkan akhirat yang lebih baik dan lebih kekal.

Maqām zuhd tidak dapat tercapai jika dalam hati sālik masih terdapat rasa cinta kepada dunia, dan rasa hasud kepada manusia yang diberi kenikmatan duniawi. Alangkah indahnya apa yang dikatakan oleh Ibn ‘Aţā’illah: ”Cukuplah kebodohan bagimu jika engkau hasud kepada mereka yang diberi kenikmatan dunia. Namun, jika hatimu sibuk dengan memikirkan kenikmatan dunia yang diberikan kepada mereka, maka engkau lebih bodoh daripada mereka. Karena mereka hanya disibukkan dengan kenikmatan yang mereka dapatkan, sedangkan engkau disibukkan dengan apa yang tidak engkau dapatkan”.

Inti dari zuhd adalah keteguhan jiwa, yaitu tidak merasa bahagia dengan kenikmatan dunia yang didapat, dan tidak bersedih dan putus asa atas kenikmatan dunia yang tidak didapat.
E.      Maqam (tingkatan) Zuhud
Ø  Untuk mengkaji makna zuhud, dapat dibedakan kepada tiga peringkat yang meliputi:
1.     Zuhud dalam shubhat setelah meninggalkan yang haram kerana tidak menyukai celaan di mata Allah, tidak suka kepada kekurangan dan tidak suka bergabung dengan orang-orang fasiq. Zuhud dalam shubhat bermakna meninggalkan hal-hal yang meragukan, apakah sesuatu itu halal atau haram dalam pandangan zahid. Contohnya, shubhat merupakan pembatas seperti kematian dan kehidupan sesudahnya yang menjadi pembatas antara dunia dan akhirat, kederhakaan yang menjadi pembatas antara iman dan kufur,
2.     Zuhud dalam perkara-perkara yang berlebihan iaitu sesuatu yang lebih daripada kelaziman dengan melepaskan kerisauan hati dan dengan mencontohi para nabi dan siddiqin. Contohnya teladan doa dalam aspek makan, minum, pakaian, tempat tinggal dan lain-lainnya. Jika sufi memenuhi teladan ini untuk menambah kekuatan dalam melakukan hal yang dicintai dan diredai Allah dan menjauhi yang dimurkaiNya, maka itu dinamakan sebagai mengisi waktu sekalipun dia mendapat kenikmatan kerana menggunakan hal tersebut,
3.     Zuhud dalam zuhud yang dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu menghina perbuatan zuhud, menyeimbangkan keadaan ketika mendapat dan meninggalkan sesuatu dan ingin memperoleh balasan. Orang yang memenuhi hatinya dengan kecintaan kepada Allah tidak layak melihat keduniaan yang ditinggalkannya sebagai suatu pengorbanan. Sebagaimana seorang sufi, oleh kerana kecintaannya kepada Allah, maka seorang ahli sufi beribadah dan meninggalkan perkara-perkara lain seperti kepentingan dan kemewahan dunia dengan tujuan untuk mencapai kecintaan Allah SWT.
Ø  Imam Ahmad Ibnu Hambal mengklasifikasikan tingkatan zuhud yaitu:
1.     Zuhudnya orang sipil adalah meninggalkan hal hal yang haram
2.     Zuhud orang orang yang khawas (khusus) yaitu meninggalkan hal yang berlebih lebihan (al fudhul) meskipun barang halal.
3.     Zuhud orang Arif yaitu meninggalkan segala sesuatu yang dapat memalingkan dari mengingat ALLAH.
Ø  Al Imam Ghazali pula membagi zuhud atas tiga tingkat yakni:
1.     Tingkat terendah adalah menjauhkan dunia agar terhindar dari hukuman di akhirat,
2.     Tingkat kedua adalah mereka yang menjauhi dunia karena ingin mendapatkan imbalan di akhirat,
3.     Tingkat tertinggi adalah zuhud yang ditempuh bukan lagi karena takut atau harap, tapi semata mata karena cinta kepada Allah SWT. 

Ø  Menurut Syeikh Abdus Samad Al Palimbani, proses kehidupan zuhud itu ada 3 tingkat. Pada semua tingkat proses kezuhudan tersebut baik di tingkat awal maupun akhir, para zahid harus membentengi dirinya dengan sifat2 wara 'atau wira’i yaitu menjaga diri dari hal hal yang haram dan halhal subahat serta segala sesuatu yang meragukan.
1.       Tingkat Pertama
Zuhud awal (mubtadi) adalah kezuhudan seseorang yang dalam hatinya masih ada rasa cinta kepada keduniaan, namun demikian dia bersungguh sungguh melawan hawa nafsunya. Maka, pada tingkat awal inilah seorang zahid harus melatih diri untuk bersikap wara. Warabagi zahid pemula dapat diartikan sebagai sifat dan sikap hidup seseorang yang selalu meninggalkan hal hal subahat yaitu segala sesuatu yang belum jelas hala, atau haram. Sebagaimana di terangkan dalam hadis Nabi SAWYang halal sudah jelas dan yang haram juga sudah jelas. Tapi di antara keduanya ada hal yang masih Samara Samara (subahat). Mengambil yang subahat dapat menyebabkan kita jatuh ke dalam larangan Tuhan”.
2.       Tingkat Kedua
Zuhud orang yang hatinya sudah meninggalkan dunia, hatinya tidak lagi tertarik kepada dunia. Pada tahap ini orang orang zahid dituntut meningkatkan sikap wara’nya ke tingkat yang lebih tinggi, yaitu wira’i yang biasa diartikan sebagai sikap hidup meninggalkan segala sesuatu yang meragukan dalam hati, sebagaimana sabda Nabi SAW  “Tinggalkan apa yang meragukanmu pada apa yang tidak meragukan”, Ini karena keraguan itu merupakan bagian dari angkara setan agar manusia menjadi was was atau syak. Nabi SAW juga pernah mengingatkan, bahwa hakikat dosa sesungguhnya terletak pada apa yang diragukan oleh hati nurani. Karena itu ia mengajarkan manusia agar selalu bertanya dan minta pertimbangan pada hati nuraninya yang benar.
Berdasarkan dua tahap proses kezuhudan tersebut di atas, seorang zahid dapat naik ke tingkat zuhud yang paling tinggi nilainya yaitu zuhud muntahi; zuhudnya golongan orang yang sudah makrifatullah (arifin). Bagi mereka, dunia dan segala isinya ini sudah tidak ada nilainya lagi sehingga segenap hati dan pikiran mereka sudah menghadap ke akhirat. Maka zahid pada tingkat yang tertinggi ini memilikki cirri cirri ruhaniah amat tinggi maqamnya. Hatinya tidak lagi bersuka ria karena memperoleh sesuatu dan tidak pula bersedih karena kehilangan sesuatu; orang yang memujinya, dan orang yang mencelanya dianggap sama saja, dan dia selalu merasa dekat dengan Tuhan dan merasakan nikmatnya ibadah. Seiring dengan tingkat kezuhudan yang dicapai oleh para zahid muntahi ini, maka sifat sifat wira’i yang dimilikki mereka pun merupakan nilai nilai hakiki yang tinggi. Mereka menjalani wira’i dalam arti meninggalkan segala sesuatu yang dapat membuat seseorang lalai dan lupa kepada Allah SWT walau sekejap saja dianggap sebagai dosa. Inilah puncak hakikat zuhud dan wira’i yang sesungguhnya.
Zuhud tingkat pertama adalah kalangan orang awam, zuhud tingkat kedua adalah dikalangan para Salik yang saleh dan tingkat terakhir ini hanya dapat dimilikki oleh orang orang yang lebih khusus atau khawas al khawas yaitu para Sufi sebagai orang orang yang arif bijaksana
F.       Cara Mencapai Tingkatan Zuhud
Menurut  Imam Al-Ghazali ada tiga cara mencapai tingkatan zuhud, yakni : Pertama, memaksa diri untuk mengendalikan hawa nafsunya. Kedua, sukarela meninggalkan pesona dunia karena dipandang kurang penting. Ketiga, tidak merasakan zuhud sebagai beban, karena dunia dipandang bukan apa-apa bagi dirinya.
Sementara itu, Ibrahim bin Adham pernah ditanya seorang lelaki, “Bagaimana cara engkau mencapai derajat orang zuhud?” Ibrahim menjawab,”Dengan tiga hal, pertama, aku melihat kuburan itu sunyi dan menakutkan, sedang aku tidak menemukan orang yang dapat menentramkan hatiku di sana. Kedua, aku melihat perjalanan hidup menuju akherat itu amat jauh, sedang aku tidak memiliki cukup bekal. Ketiga, aku melihat Rabb Yang Maha Kuasa menetapkan satu keputusan atasku, sedang aku tidak punya alasan untuk menolak keputusan itu.” (Abu Ishak Ibrahim bin Adham Al Balkhi)
G.     Zuhud yang Bermanfaat dan Sesuai dengan Syari’at
Zuhud yang disyariatkan dan bermanfaat bagi orang yang menjalaninya adalah zuhud yang dicintai oleh Allah dan rasul-Nya, yaitu meninggalkan segala sesuatu yang tidak bermanfaat demi menggapai kehidupan akhirat. Adapun sesuatu yang memberi manfaat bagi kehidupan akhirat dan membantu untuk menggapainya, maka termasuk salah satu jenis ibadah dan ketaatan. Sehingga berpaling dari sesuatu yang bermanfaat merupakan kejahilan dan kesesatan sebagaimana sabda Nabi, “Carilah apa yang bermanfaat bagi dirimu dan mintalah pertolongan kepada Allah dan jangan lemah.” (HR. Muslim hadits no. 4816)
Yang bermanfaat bagi seorang hamba adalah beribadah kepada Allah, menjalankan ketaatan kepada-Nya dan kepada rasul-Nya. Dan semua yang menghalangi hal ini adalah perkara yang mendatangkan kemudharatan dan tidak bermanfaat. Yang paling berguna bagi seorang hamba adalah mengikhlaskan seluruh amalnya karena Allah. Orang yang tidak memperhatikan segala yang dicintai dan dibenci oleh Allah dan rasul-Nya akan banyak menyia-nyiakan kewajiban dan jatuh ke dalam perkara yang diharamkan; meninggalkan sesuatu yang merupakan kebutuhannya seperti makan dan minum; memakan sesuatu yang dapat merusak akalnya sehingga tidak mampu menjalankan kewajiban; meninggalkan amar ma’ruf nahi munkar; meningalkan jihad di jalan Allah karena dianggap mengganggu dan merugikan orang lain. Pada akhirnya, orang-orang kafir dan orang-orang jahat mampu menguasai negeri mereka dikarenakan meninggalkan jihad dan amar ma’ruf tanpa ada maslahat yang nyata.
Allah berfirman yang artinya “Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah, ‘Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidilharam dan mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah. Dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh. (QS. Al-Baqarah: 217)
Allah menjelaskan dalam ayat ini, walaupun membunuh jiwa itu merupakan keburukan, akan tetapi fitnah yang ditimbulkan oleh kekufuran, kezaliman dan berkuasanya mereka (orang-orang kafir) lebih berbahaya dari membunuh jiwa. Sehingga menghindari keburukan yang lebih besar dengan melakukan keburukan yang lebih ringan adalah lebih diutamakan. Seumpama orang yang tidak mau menyembelih hewan dengan dalih bahwa perbuatan tersebut termasuk aniaya terhadap hewan. Orang seperti ini adalah jahil, karena hewan tersebut pasti akan mati. Disembelihnya hewan tersebut untuk kepentingan manusia adalah lebih baik daripada mati tanpa mendatangkan manfaat bagi seorang pun. Manusia lebih sempurna dari hewan, dan suatu kebaikan tidak mungkin bisa sempurna untuk manusia kecuali dengan memanfaatkannya, baik untuk dimakan, dijadikan sebagai kendaraan atau yang lainya. Yang dilarang oleh Nabi adalah menyiksanya dan tidak menunaikan hak-haknya yang telah tetapkan oleh Allah.
Nabi bersabda yang artinya,“ Sesungguhnya Allah telah mewajibkan berbuat baik atas segala sesuatu, maka jikalau kalian membunuh, bunuhlah dengan baik, dan jika kalian menyembelih maka sembelihlah dengan baik, hendaklah salah seorang diantara kalian menajamkan pisaunya dan menyenangkan sembelihannya.” (HR. Muslim hadits no. 3615).
URGENSI ZUHUD DI ABAD MODERN
Islam diturunkan sebagai rahmatan lil 'lamiin, di turunkan dalam kontels zamannya untuk memecahkan problema kemasyarakatan pada masa itu. Konteks dan latar belakang perjuangan Rasulullah dalam situasi dan kondisi arab quraisy waktu itu. Pada masa sekarang harus dipahami dalam konteksnya yang tepat yaitu pemahaman yang mondar-mandir, memasukkan konteks kekinian ke masa di turunkn Al-qur'an dan kembali lagi ke masa kini. Pemahaman ini akan menjamin aktualisasi dan kemampuan islam menjawab tantangan zaman sepanjang sejarah. 
Rumusan ajaran tasawuf klasik, khususnya yang menyangkut konsep zuhud sebagai maqom yang di artikan sebagai sikap menjauhi dunia dan isolasi terhadap keramaian duniawi, karena semata-mata ingin bertemu dan ma'rifat kepada Allah SWT, sebagaimana dirumuskan oleh ulama' terdahulu . disisi lain, hal tersebut bisa diberi makna bahwa situasi dan kondisi pada waktu itu menghendaki demikian, yakni sebagai reaksi terhadap sistem sosial, politik, dan ekonomi.
Ketika islam telah tersebar kemana-mana, tentunya membawa konsekwensi tersendiri, seperti lahirnya kemakmuran negara islam, disatu pihak, dan pertikaian politik interen umat islam dipihak lain sehingga menimbulkan perang saudara yang berawal dari al-fitn al-kubro, serta perilaku yang semena-mena elite politik pada masa itu.
Melihat keadaan demikian, ada sebagian umat islam, khusunya ulama' yang menjauhkan diri dari keramaian dunia (uzlah), lari ke goa-goa dan ke gunung-gunung agar tidak terlibat hal-hal tersebut. Selanjutnya, sebagaimana zuhud sebagai upaya pembentukan sikap terhadap dunia dimasa modern seperti ini. Masyarakat modern ialah masyarakat yang cenderung menjadi sekuler. Hubungan antara anggota masyarakat tidak lagi atas dasar prinsip tradisi atau persaudaraan, tetapi pada prinsip-prinsip fungsional fragmatis. Masyarakatnya merasa bebas dan lepas dari kontrol agama dan pandangan dunia metafisis, ciri-cirinya yang lain adalah penghilangan nilai-nilai sakral terhadap dunia, meletakkan hidup manusia dalam konteks kenyataan sejarah dan hanya terlihat nilai-nilai.
Ata muzhar mengatakan bahwa masyarakat modern ditandai oleh 5 hal, yakni: Pertama, berkembangnya mass culture karena pengaruh kemajuan mass media sehingga kultur tidak lagi bersifat lokal, melainkan nasional, atau bahkan global. Kedua, tumbuhnya sikap-sikap yang lebih mengakui kebebasan bertindak manusia menuju perubahan masa depan. Dengan demikian alam dapat di takhlukkan, manusia merasa lebih leluasa kalau bukan merasa ebih berkuasa. Ketiga, tumbuhnya berfikir rasional, sebagian besar kehidupan umat manusia ini semakin diatur oleh aturan-aturan rasional. Keempat, tumbuhnya sikap hidup yang materialistik, artinya semua hal di ukur oleh nilai kebendaan dan ekonomi. Kelima, meningkatnya laju urbanisasi.
Dalam tasawuf dikenal zuhud sebagai satu maqam untuk menuju jenjang kehidupan tasawuf, namun disisi lain ia merupakan moral islam. Dalam posisi ini ia tidak berarti suatu tindakan pelarian dari kehidupan dunia nyata ini, akan tetapi ia adalah suatu usaha mempersenjatai diri dengan nilai-nilai rohaniah baru yang akan menegakkannya saat menghadapi problema hidup dan kehidupan yang serba materialistik, dan berusaha merealisasikan  keseimbangan jiwanya sehingga timbulkemampuan mennghadapinya dengan sikap jantan. Kehidupan ini hanyalah sekedar sarana, bukan tujuan. Seorang zahid mengamil dunia atau materi secukupnya tidak terjerat cinta padanya. Hal ini tidak berarti suatu usaha pemiskinan, akan tetapi dunia dan materi itu dimiliki dengan sikap tertentu, yakni menyiasatinya agar dunia dan materi itu menjadi bernilai akherat, semuanya dijadikan sarana beribadah kepada Allah SWT.
Sebagai akibat mdernisasi dan industrialisasi, kadang-kadang manusia mengalami degradasi moral yang dapat menjatuhkan harkat dan martabatnya, meluncur bagaikan binatang, bahkan lebih hina daripadanya. Ini adalah akibat dari adanya mass culture tersebut. Kehidupan modern saat ini menampilkan sifat-sifat yang kurang dan tidak terpuji, terutama dalam menghadapi materi yang gemerlap ini, antara lain sifat at-tama' yaitu sifat loba, dan sifat al-hirs yaitu sifat keinginan yang berlebih-lebihan terhadap materi. Dari sifat ini tumbuh perilaku menyimpang seperti korupsi dn manipulasi.
Dalam tasawuf terhadap rinsip-prinsip positif yang mampu menumbuhkan masa depan masyarakat, antara lain hendaknya selalu mengadakan intropeksi, berwawasan hidup moderat, tidak terjerat oleh nafsu rendah, sehingga lupa pada diri dan tuhannya. Dalam menempuh jenjang kesempurnaan rohani, dikenal tahapan: takhalli, tahalli, dan tajalli. Dalam takhalli terdapat ciri moralitas islam, yakni menghindarkan diri dari sifat-sifat tercela, baik secara vertikal maupun horisontal, misalnya at-tama', al-hirs, al-hasad, takabur, dan sebagainya. Tahalli merupakan pengungkapan secara progresif nilai moral yang terdapat dalam islam, misalnya zuhud yang oleh sebagian ulama' sebagai awal kehidupan tasawuf. Zuhud sebagai sikap sederhana dalam kehidupan berdasarkan motif agama, akan bisa menanggulangi sifat at-tama'dan sifat al-hirs tadi. Imam ahmad ibu hanbalmenyebutkan ada tiga tahap zuhud:
            Pertama, zuhud dalam arti meninggalkan yang haram, ini adalah zuhudnya orang awam.
            Kedua, zuhud dalam arti meninggalkan hal-hal yang berlebih-lebihan dalam perkara yang halal, ini adalah zuhudnya orang khawas (istimewa): dan
            Ketiga, zuhud dalam arti meninggalkan apa saja yang memalingkan dii dari Allah SWT, ini adalah zuhudnya orang arif(orang yang telah mengenal tuhan).[7]
            Zuhud melahirkan sikap menahan diri dan memanfaatkan harta untuk kepentingan produktif . zuhud mendorong untuk mengubah harta bukan saja aset ilahiyah yang mempunyai nilai ekonomis, tetapi juga sebagai aset sosial dan mempunyai tanggungjawab pengawasan aktif trhadap pemanfaatan harta dalam masyarakat.[8] Dengan demikian, zuhud dapat dijadikan benteng untuk membangun diri dari dalam diri sendiri, terutama dalam menghadapi gemerlapnya materi. Dengan zuhud, akan tampil sifat positif lainnya seperti sifat qana'ah, tawakkal, wira'i, sabar, dan syukur. Yang perlu diketahui bahwa sifat-sifat itu merupakan bekal menghadapi kenyataan hidup ini bukan menjadikan seseorang pasif, seperti tidak mau berusaha mencari nafkah, eksklusif dan menarik diri dari keramaian dunua, tetapi sebaliknya, sebab seorang muslim hidup di dunia ini membawa amanah, yakni membawa fungsi kekholifahanyang berarti sebagai pengganti tuhan, pengelola, pemakmur, dan yang meramaikan dunia ini.
            Setelah seseorang telah mampu menguasai dirinya, dapat menanamkan sifat-sifat terpuji dalam jiwanya, maka sudah barang tentu hatinya menjadi jernih, ketenangan dan ketentraman memancar dari hatinya. Inilah hasil yang dicapai seseorang, yang dalam tasawuf disebut tajalli, yaitu sampainya nur ilahi dalam hatinya. Dalam keadaan yang demikian ini, seseorang bisa membedakan  mana yang baik dan yang tidak baik, mana yang batal dan mana yang haq. Dan secara khusus, tajalli berarti ma'rifatullah, melihat tuhan dengan matahati, dengan rasa.
            Capaian terakhir in merupakan puncak kebahagiaan seorang sufi. Orang seperti ini akan mencapai tuma'ninah al-qalb, ketenangan hati yang merupakan pangkal kebahagiaan seseorang, baik bahagia di dunia maupun di akherat. Orang yang demikian inihidupnya penuh dengan optimisme, tidak mungkin tergoda oleh stuasi dan kondisi yang melingkupinya, bisa menguasai diri dan menyesuaikan diri di tengah-tengah deru modernisasi dan industrialisasi.
 






[1] Amin Syukur, Zuhud Abad Modern ( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), 64.
[2] Simuh, Sufisme Jawa (Yogyakarta: Yayasan bentang Budaya, 1996), 1.
[3]Lois ma’luf al-yasu’i, al-munjid..,op..cit., hlm. 308. Lihat pula ahmad warsun munawir, al-munawir:kamus bahasa arab-indonesia, PP. Al-munawwir, yogyakarta, 1984, hlm.626.
[4]Ibid., hlm. 308.
[5]Harun Nasution, filsafat dan mistisme islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1978, hlm. 56.
[6]Abd al-hakim hasan, al-tasawuf fi syi’r al- ‘araby, al-anjalu al-misriyyah, mesir, 1954, hlm. 42.
[7] Ibn Qayyim al-jauziyah, madarij al-salikin, jilid II, edisi muhammad hamid al-Faqi, Dar al-Rasyad wa al-hadis, tt., hlm. 12.
[8] Jalaluddin Rahmat, Islam Alternatif, mizan, bandung, 1986, hlm. 100.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Menu Bahasa Arab Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea