A.
Pengantar
Kita mengetahui
bahwasanya eksistensi Pembelajaran Bahasa Arab telah berabad-abad umurnya.
Makin maju perkembangan jaman dan teknologi makin maju dan beragam pula tujuan
pengajaran dan pembelajaran Bahasa Arab. Bahasa Arab seperti bahasa-bahasa lain
nya, memiliki empat kemahiran yakni kemahiran menyimak (istimā’), kemahiran berbicara (kalām),
kemahiran membaca (qirā’ah) dan kemahiran menulis (kitābah).
Ada pernyataan
seperti “اللغة في الأساس, هي الكلام”.[1]
Dan ada pula yang mengatakan “jika seseorang menguasai suatu bahasa, secara
intuitif ia mampu berbicara dalam bahasa tersebut”. Pendapat ini jelas
mengindikasikan bahwa kemahiran berbicara (kalām)
mengisyaratkan bahwa seseorang mengetahui suatu bahasa. Selain itu,
keterampilan berbicara bisa juga digunakan sebagai suatu media untuk belajar.
Karena kemahiran ini sangat terkait dengan pelafalan, gramatika, kosakata,
diskursus, keterampilan mendengarkan, dan lain lain. Maka Penggunaan metode dan
strategi atau teknik yang didasari oleh pendekatan (approach) yang tepat
akan berpengaruh terhadap hasil dari tujuan pembelajaran bahasa.
B.
Pembelajaran
Kalam
1.
Definisi
Telah banyak literatur yang membahas tentang definisi dari kemahiran
berbicara (kalam) atau speaking skill ini, diantaranya menurut Henry
Guntur Tarigan, “Kemahiran berbicara pada hakikatnya adalah kemampuan
mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau kata-kata untuk mengekspresikan,
menyatakan serta menyampaikan pikiran, gagasan, dan perasaan”.[2]
Dalam kamus Oxford, mendefinisikan kata speaking adalah “to
express or communicate opinions, feelings, ideas, etc by or as talking
and it involves the activities in the part of the speaker as psychological,
physiological (articulator) and physical (acoustic) stages”.[3]
Dan pada literatur lain dikatakan, speaking is process of building and sharing
meaning through the use of verbal and non-verbal symbols, in variety of
contexts.[4]
Dan seorang ahli bahasa bernama Theodore Huebner mengatakan “Language
is essentially speech, and speech is basically communication by sounds”.[5]
Berdasarkan pendapat dari Theodore ini, dapat dikatakan bahwa kemahiran
berbicara ini adalah kemahiran atau keterampilan yang dipakai oleh semua orang
dalam kehidupan sehari-hari, di sekolah atau pun di luar nya. Kemahiran ini
membutuhkan banyak latihan, yang pada dasarnya bukan proses kemampuan
intelektualitas tetapi meliputi kemampuan menerima dan mengirim pesan.[6]
Dalam literatur lain dikatakan, Berbicara adalah kemahiran dapat
diperoleh dengan menuntut kepada kemampuan penggunaan suara dengan cermat,
kemampuan bentuk-bentuk gramatikal, sistem dan rangkaian kata yang dapat
membantu mengungkapkan sesuatu yang ingin ia katakan ketika berdialog.[7]
Artinya, berbicara merupakan ungkapan proses persepsi yang mendorong untuk
berbicara atau mengeluarkan ide, dalam bentuk dialog, tersusun dalam bentuk
bahasa yang dapat diterjemahkan atau diterima oleh receiver/mustami’
(pendengar), yang ada dalam bentuk perkataan. Segala
proses ini tidak dapat diamati, karena merupakan proses batin di luar pesan
lisan yang berbicara.[8]
Selain itu,
berbicara juga dianggap sebagai proses emosi sosial. Yang didalam nya terdapat
sumber atau ide dari berbagai pemikiran, maksud yang dapat diambil, dari
pembicara kepada pendengar. Ini berarti bahwa berbicara adalah proses yang
dimulai dengan suara dan diakhiri dengan proses komunikasi bersama pengguna
bahasa asli yang diajak bicara dalam konteks sosial. Oleh karena itu, tujuan
berbicara adalah mentransfer makna.[9]
Dari berbagai definisi di atas, dapat diambil kesimpulan bahwasanya kegiatan berbicara di dalam kelas bahasa hendaknya mempunyai aspek
komunikasi dua arah, yakni antara pembicara dengan pendengarnya secara timbal
balik. Dengan demikian latihan berbicara harus terlebih dahulu didasari oleh
kemampuan mendengarkan, kemampuan mengucapkan, dan penguasaan kosa kata serta
ungkapan yang memungkinkan anak didik dapat mengkomunikasikan maksud atau
fikirannya. Faktor lain yang penting dalam menghidupkan kegiatan berbicara
ialah keberanian anak didik dan perasaan tidak takut salah. Oleh karena itu,
guru hendaknya memberikan dorongan kepada anak didik agar berani berbicara kendatipun
dengan resiko salah.
2. Urgensi
Beberapa faktor
mengapa pembelajaran kalam ini begitu penting, diantara adalah sebagai berikut:
a. Anak-anak maupun dewasa lebih banyak menggunakan kemahiran berbicara nya
daripada menulis dan membaca, bahkan anak-anak lebih dahulu berbicara daripada
belajar membaca dan menulis.[10]
b. Ketika sebuah keluarga mengajarkan bahasa asing kepada anaknya, yang
diharapkan adalah anak nya mampu berbicara dengan bahasa tersebut.
c. Banyak orang dewasa yang mempelajari suatu bahasa tujuan utamanya adalah
dapat berbicara dengan bahasa tersebut.
d. Kesuksesan belajar berbicara bahasa asing mendorong untuk mempelajari dan
mendalami bahasa tersebut.
e. Kita tidak dapat membayangkan kemungkinan keberlangsungan mempelajari
membaca dan menulis dengan bahasa asing tanpa belajar berbicara.
f. Sekarang kita mengajarkan anak-anak kita lebih banyak mendengar siaran
radio, menyaksikan program televisi dan film dan kita kurang cenderung membaca
dan berkomunikasi dengan kata-kata tertulis.
g. Ketika seseorang membaca dan menulis ia hanya berfikir tentang penyelesaian
sesuatu yang ia pelajari secara lisan, mendengar dan berbicara. Dalam pelajaran
membaca, misalnya, di balik baris-baris kalimat kita mencari sesuatu yang
sesuai dengan bahasa lisan dimana kita memasukkan pemikiran dan gagasan yang
tidak tampak dalam kalimat tertulis. Dalam pelajaran menulis kita menuliskan
sesuatu yang dikatakan secara lisan kepada diri kita sendiri. Sedangkan ketika
kita menulis bahasa sastra, maka dengan cara dialog internal kita berusaha
mencari kata-kata, frase-frase, kalimat-kalimat dan gambar-gambar yang
mengungkapkan keindahan sastra tentang makna yang kita inginkan.
h. Proses mempelajari bahasa itu sendiri dan memanfaatkan guru bertumpu pada
berbicara. Seorang guru dalam memberikan pelajaran dan membenarkan kesalahan
pelajar melalui perkataan, bahkan sampai ketika ia membenarkan tulisan pelajar
ketika ia mengujinya secara lisan.
i. Ada sebuah realita yang dikuatkan oleh beberapa pelajaran dan pengalaman di
lapangan yang menyatakan bahwa: Mayoritas orang-orang yang belajar bahasa asing
melalui membaca dan menulis saja mereka gagal ketika pertama kali
membiasakannya secara lisan.[11]
3. Faktor-Faktor Penghambat
Faktor-faktor yang
dapat menghambat pembelajaran berbicara, sehingga sering menemui kegagalan:
a.
Kurikulum yang
kurang menekankan pada kemahiran berbicara.
b.
Kualifikasi
guru yang kompeten terbatas.
c.
Kondisi kelas yang sering tidak kondusif untuk melakukan aktifitas
berbicara yang intens.
d.
Kesempatan
untuk mempraktekkan di luar kelas terbatas.
e.
Ujian-ujian
yang tidak menekankan pada kemahiran berbicara.[12]
f.
Buku-buku (Bahasa
Arab) umumnya, lebih banyak menekankan dan mengedepankan aspek gramatika saja,
sementara aspek komunikasi kurang mendapatkan perhatian dan prioritas.[13]
4. Tujuan
Ada beberapa tujuan
umum dari pembelajaran kalam, diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Bagi pembelajar mubtadi’ (beginner):
1) Pelajar dapat melafalkan suara-suara Bahasa Arab dan mengemukakan ragam
logat dan intonasi yang beragam dengan cara yang diterima dari pengguna bahasa
asli (native speaker).
2) Mengucapkan suara yang berdekatan dan mirip.
3) Mengetahui perbedaan antara ucapan berharakat pendek dan harakat
panjang.
b.
Bagi pembelajar mutawasith (lanjutan) (intermediate):
1)
Mengungkapkan
pikirannya menggunakan bentuk-bentuk gramatikal yang tepat.
2)
Mengungkapkan
pikirannya menggunakan sistem bahasa yang benar dan struktur kata dalam Bahasa
Arab, khususnya bahasa dialog.
3)
Menggunakan
beberapa ciri khusus pengungkapan lisan seperti, bentuk mudzakar, muannats,
membedakan ‘adad (bilangan), hal, struktur fi’il (kata
kerja) dan waktu kata kerja serta hal-hal lain yang sudah semestinya digunakan
oleh penutur Arab.
c.
Bagi pembelajar mutaqaddim (tingkat atas) (advanced):
1)
Mendapatkan
kekayaan kata dalam bahasa lisan yang sesuai dengan usia penutur, tingkat
kedewasaan dan kemampuannya; dan menggunakan kekayaan kata ini dalam
menyempurnakan proses-proses komunikasi modern.
2)
Menggunakan
bentuk-bentuk budaya Arab yang diterima dan sesuai dengan usia, tingkat sosial masyarakat dan model kerjanya;
dan mendapatkan sebagian pengetahuan dasar dari kitab-kitab peninggalan Arab
Islam (turats).
3) Mengungkapkan tentang dirinya sendiri dengan pengungkapan yang jelas dan
dapat dipahami dalam posisi berbicara yang sederhana.
4) Mampu berfikir dengan Bahasa Arab dan berdialog dengan Bahasa Arab dengan
terus menerus dan saling berhubungan untuk sesuai beberapa waktu nya.[14]
Selain beberapa
tujuan umum dari pembelajaran kalam di atas, sesungguh nya ada pula tujuan
praksis dari belajar berbicara dalam bahasa asing atau target, yang didasari
oleh banyak aktifitas manusia serta mewujudkan tujuan manusia, di antara nya
adalah:
a.
Meminta sesuatu
kepada pelajar atau apapun.
b.
Bertanya
tentang tempat, waktu dan orang.
c. Meminta orang lain
melakukan sesuatu atau apapun.
d.
Membuat
hubungan kasih sayang antara rekan-rekan sesama pelajar bahasa.
e.
Menceritakan
kisah sederhana atau mengatakan sesuatu kepada orang lain.
f. Menyibukkan orang-orang
sekitar dengan dialog hingga membuat janji.
g. Member pemahaman kepada
orang lain, mengarahkan dan menunjukkan mereka.
5.
Unsur-Unsur Penting dalam Pembelajaran Kalam
a.
Pengucapan (Nutqu)
Salah satu hal terpenting dari beberapa hal tersebut adalah suara.
Sebab, para pendidik berpendapat bahwa sangatlah urgen mengajarkan pengucapan
sejak awal dengan Pembelajaran yang benar. Berucap adalah unsur terbesar dalam
bahasa yang sulit dirubah atau dibenarkan setelah dipelajari dengan keliru.
Perlu benar-benar
diperhatikan bahwa yang dicari dari pengucapan ini bukanlah pelajar dapat mengucapkan dengan sempurna,
sesuai dengan sistem suara bahasa dan penguasaan para pelafalnya. Akan tetapi,
yang dimaksud penguasaan di sini adalah kemampuan mengeluarkan suara dimana
pelajar mampu berbicara dengan pengguna bahasa asli, tanpa memperdulikan
kesamaan sempurna dalam mengeluarkan suara, logat dan intonasi dengan pengguna
bahasa asli.[16]
b.
Kosa
Kata (Mufradāt)
Memberikan
kata-kata dengan tema-tema yang diucapkan oleh pelajar lebih diutamakan,
sehingga akan dapat mencakup tema-tema penting dalam kehidupannya. Telah banyak
pengalaman dan cara yang mungkin digunakan untuk mengembangkan kosa-kata agar
dapat mengembangkan kemampuan dalam berbicara bagi para pelajar. Di antaranya
adalah memberikan beberapa pertanyaan dan jawaban, membuat dialog dan kisah
seputar hal-hal yang ada dalam kehidupan para pelajar, pengalaman bersama di
dalam kelas dan di dalam lingkup sekolah seperti perdebatan umum, menerima
tamu, berbasa-basi dan menggunakan sarana-sarana sekolah. Selain itu, dapat
pula dengan menggunakan beberapa bentuk kosa-kata yang telah umum. Dan ketika
pelajar mengoleksi sekumpulan besar kosa-kata, maka guru harus membantunya
sekali lagi mengulangi fungsi kosa kata tersebut secara lisan mirip seperti
yang pernah dilakukan sebelumnya.
Memang ada beberapa
kata yang sulit diberikan melalui cara kontekstual ini atau dengan cara lain
yang kita gunakan. Dalam hal ini, kita dapat memberikan kosa-kata dengan cara memberikan definisi kata-kata
atau ungkapan tersebut. Selain itu, dapat pula dengan cara memberikan contoh
makna atau mengungkapkan dengan gerakan dan isyarat. Dengan mendahulukan proses
belajar bahasa, maka kemampuan pelajar dalam menentukan makna kata-kata baru
akan semakin luas.
Meskipun telah
disinggung untuk menggunakan sebagian sarana kosa-kata yang umum, akan tetapi bukanlah berarti
sebaiknya berfokus untuk membekali para pelajar dengan segunung kata yang terdapat
dalam kosa-kata yang terpisah. Kata-kata tersebut tidak akan berarti tanpa
konteks kalimat. Demikian halnya ia tidak akan berarti bila hanya dihafal saja.
Sebuah kata mungkin akan berarti lain dalam konteks kalimat yang lain dan
kata-kata tersebut terkadang tidak sesuai dengan kata-kata yang dibutuhkan oleh
pelajar dan tidak dapat memenuhi untuk mencapai tujuan mereka dalam belajar
berbicara suatu bahasa.
Menguasai kata-kata
bukanlah satu-satunya kesulitan dalam membentuk kosa-kata. Sebab, pelajar akan lelah
mengingat kata-kata yang telah ia pelajari sebelumnya, dan pada saat yang sama,
ia harus menerima kata-kata baru. Oleh sebab itu, untuk dapat mengembangkan
kosa-kata bagi pelajar, haruslah melalui beberapa hal berikut:
1.
Mendahulukan
kata-kata yang berhubungan langsung dengan posisi dimana para pelajar
mengucapkan tentang diri mereka.
2.
Memberikan
kesempatan membiasakan kata-kata komunikasi.
3.
Berusaha
mengulangi mengungkapkan kata-kata tersebut dalam beberapa tahap sistematis
hingga mereka tidak lupa.[17]
c.
Tata
Bahasa (Qawāid)
Hal yang sering
kali disepelekan oleh para pemerhati pendidikan bahasa asing adalah penjelasan
tentang gramatikal. Bahkan, kita melihat sebagian mereka benar-benar tidak
mengakuinya. Di samping itu, para pelajar bahasa asing sering kali meneriakkan
bahwa gramatikal bahasa tidaklah wajib dalam belajar menggunakan bahasa, yakni
bukanlah sebuah keharusan dalam berbicara menggunakan bahasa tersebut. Meskipun
kenyataannya demikian, namun ada kenyataan yang tidak mungkin diingkari bahwa
bahasa diikat dengan sekumpulan gramatikal yang sudah selayaknya diketahui
dengan baik oleh penutur bahasa tersebut dan yang harus diketahui oleh orang
yang ingin mempelajarinya, baik dipelajari pada awal masa belajar ataupun akhir
belajar, dengan sadar atau tidak sadar. Kita sendiri, ketika mengakui hal ini,
hanyalah mengakui dalam keadaan benar-benar menyadari bahwa kesulitan
mempelajari gramatikal tidak dapat diselesaikan dengan masa bodoh terhadap
permasalahan ini. Gramatikal adalah satu hal yang wajib dipelajari dalam
mempelajari kemahiran bahasa.
Ada beberapa hal
yang menjadikan kita sadar bahwa gramatikal adalah satu hal penting dari
beberapa hal yang sudah selayaknya mendapat perhatian dalam pembelajaran
berbicara. Bila kita melihat buku-buku pendidikan bahasa asing, kita akan
menemukan bahwa pelajaran gramatikal biasanya diberikan melalui salah satu dari
dua cara berikut.
Pertama, memberikan gramatikal baru melalui dialog atau pemberian kisah,
kemudian menarik kesimpulan dan menggunakan kesimpulan tersebut pada
dialog-dialog lain.
Kedua, memberikan pelajaran gramatikal baru melalui contoh-contoh dalam
bentuk kalimat di awal pelajaran kemudian mengupas gramatikal dan
menyempurnakan dengan memberi penjelasan terkait gramatikal tersebut, sesuai
dengan keinginan pengajar, dengan memberikan latihan atau mengajukan beberapa
pemahaman melalui penjelasan yang mendukung dengan contoh-contoh mudah
dilanjutkan dengan tes latihan.[18]
C.
Pendekatan
Audio Visual
Kita dapat
menggunakan pendekatan audio visual dalam pembelajaran berbicara. Dalam
pengenalan ini dapat menggunakan banyak cara, seperti gambar dan percontohan
dan rangkaian dialog serta mengungkapkan ciri-ciri. Semua cara ini dapat
digunakan untuk menafsirkan makna dan menghubungkan dengan suara kemudian
mengucapkannya. Menggunakan pendekatan audio visual ini didasarkan pada beberapa sebab berikut:
a.
Hubungan
gambar dan suara akan meminimalisir rasa membutuhkan akan bahasa ibu. Makna dan
lafal disini berhubungan langsung tanpa perlu terintegrasi dengan bahasa ibu.
b.
Cara-cara ini
menarik perhatian sejak awal hingga melatih para pelajar memikirkan bahasa
asing dengan bahasa asing itu sendiri.
c.
Tidak perlu
banyak menulis, karena kata-kata yang diucapkan tidak hanya berhubungan dengan
rangkaian bicara yang benar namun juga disertai makna-makna yang diungkapkan
oleh gambar yang dapat membantu menjaga ucapan dan mengeluarkan kembali hanya
dengan melihat gambar.
d.
Belajar
dengan audio visual hanya bertumpu pada pemaparan visual disertai ingatan audio
serta penggunaan mulut. Tidak diragukan lagi bahwa mata, pendengaran, berbicara
dan penggunaan audio visual akan mengukuhkan kemampuan berbicara.
e.
Pendekatan
audio visual mengandung faktor-faktor yang mempengaruhi pelajar hingga ia
diberi tugas praktik menggunakan ungkapan-ungkapan yang ia hafal dari
mendengar. Selain itu, perasaanny dan akan merasa bahwa ia mempelajari sesuatu
yang berguna. Ia menghidupkan orang-orang dalam gambar dan ia menyertakan
dirinya dalam posisi-posisi nyata dan bergerak.
f.
Pendekatan audio visual akan terus berkembang agar dapat mencakup
berbagai metode, teknik dan strategi.[19]
1.
Teknik Langsung
Teknik/Strategi[20]
langsung adalah strategi yang umum digunakan pembelajaran dan belajar
bahasa-bahasa asing. Sepertinya, teknik inilah yang tenar disebut direct
method.[21]
Teknik ini berdasar pada kenyataan bahwa prinsip utama dari prinsip psikologi
bahasa yang dapat langsung digunakan dalam tempat-tempat belajar di ruang
belajar. Adalah salah orang yang menduga bahwa teknik ini khusus untuk pelajaran
kata dan kalimat saja tidak digunakan dalam pembelajaran berbicara. Sebab,
teknik ini tidak hanya memberikan pembelajaran kata dan struktur baru saja,
namun juga memberikan pembelajaran gramatikal bahasa dan beragam kemahiran
bahasa. Tanpa disadari metode ini banyak digunakan di tempat-tempat dan
cara-cara pembelajaran. Teknik ini digunakan dalam metode ceramah, debat,
penjelasan, pemberian lagu, pemberian kisah. Mayoritas tempat belajar
membutuhkan aktifitas, penggambaran dan gerakan dalam pembelajaran bahasa
asing.
Pemikiran mendasar
yang mendasari teknik ini adalah hubungan kata-kata dengan sesuatu yang
menunjukkan pada kata-kata tersebut, kemudian hubungan sesuatu dengan konteks
dan hubungan konteks dengan ungkapan dalam bahasa yang dipelajari. Karena
memang konteks terkadang menjadi ide, peristiwa atau posisi yang benar-benar
hidup, maka setelah itu muncul hubungan konteks makna (ide atau peristiwa)
dengan eksperimen atau pengalaman nyata dimana ide atau konteks memberikan
denyut hakikatnya.
Tahapan-Tahapan Penggunaan Metode Langsung
Pengajar terkadang
menggunakan teknik ini dengan cara mengucapkan nama benda-benda yang ada dalam
ruang belajar lalu meminta para pelajar mengulanginya. Setelah itu, ia akan
mampu sedikit lebih maju, maka ia pun menghubungkan nama-nama tersebut dengan
beberapa peristiwa yang ada dalam kelas, misalnya:
Pengajar
mengucapkan nama-nama, seperti: كتاب, كرسي,
طباشر, سبورة, ممساحة
dan lain sebagainya. Kemudian pengajar menghubungkan nama-nama tersebut:
أين
الكتاب؟ الكتاب على المكتب. أين الكرسي؟ الكرسي وراء المكتب. Dan begitu seterusnya.
Benda-benda ini
dapat terjadi di dalam kelas. Kata-kata di sini
diajarkan melalui beberapa aktifitas sederhana seperti mencari buku,
kursi, kapur tulis dan lain-lain,
dilanjutkan dengan mencari tempat-tempat dimana keduanya berada, seperti
tiang sekolah dan kotak kayu serta atap.
Setelah itu,
pelajar dapat lebih maju dengan mengembangkan aktifitas tersebut sehingga
menyatu dan menjadi penggambaran sebuah kisah yang dilakukan oleh para pelajar
atau membentangkan gambar. Semua posisi-posisi belajar ini menuntut untuk
berbicara. Seperti ketika membentangkan gambar, proses belajar dapat dimulai
dengan bentuk seperti berikut:
أين
سنقيم المعرض؟ - في الفصل, في فناء المدرسة dan lain-lain.
Demikianlah, proses
belajar semakin meluas dan selalu disertai dialog secara langsung yang
dihubungkan dengan benda-benda dan peristiwa. Salah satu hal lain yang dapat
dilakukan adalah penggunaan gambar dan tulisan serta peta yang digantungkan di
tembok kelas dengan memberikan beberapa pertanyaan terkait benda tersebut.
Pengajar meminta para pelajar menjawab pertanyaan yang diajukan. Sesekali
meminta mereka menjelaskan dan berbicara tentang benda tersebut, memilih bagian
gambar atau tulisan lalu membicarakannya, atau garis lintas, atau anak yang
melintas di jalan raya, atau memaparkan beberapa tempat atau warung makan dan
sebagainya selama ia mampu memaparkan sesuatu yang ada dalam gambar atau
tulisan. Sedangkan peta, pengajar dapat menceritakan kisah terkait dengan negara,
kota, pantai, sungai, produk penghasilan dan lain sebagainya. Pengajar,
misalnya, dapat menceritakan tentang Mesir:
اسمها :
مصر, لغتها : العربية, نهرها : النيل, اسم ابنها : مصري, عاصمتها : القاهرة, دينها
: الاسلام.
Akan tetapi, tidak tepat membicarakan gambar yang akan menjadi
pertanyaan yang dapat dijawab dengan satu kata atau satu kalimat saja,
sebaliknya sebaiknya mengutamakan rangkaian makna yang ada terkait pembicaraan.
Metode ini, pada awalnya mungkin sulit ketika memulai
pelajaran dalam kalam. Namun demikian, pengajar dapat memberikan materi dengan
sederhana dan terus menerus hingga dalam benaknya terdapat banyak tempat dan
peristiwa. Para pelajar akan terus menggabungkan beberapa tempat hingga mereka
dapat mengajukan beberapa pertanyaan terkait aktifitas dan penggambaran yang
dapat dikumpulkan di akhir belajar kemudian menempatkannya dalam sebuah daftar
yang dapat digunakan sebagai alat bantu pada saat yang tepat.[22]
2.
Menggilir
Peran (Role Play)
Teknik ini juga
termasuk dalam kerangka pengenalan audio visual, terintegrasi dengan metode
langsung, dan diterapkan dengan sedikit perbedaan dengan metode langsung.
Teknik ini berfokus pada peristiwa sebagai ganti dari benda. Artinya,
memperluas cakupan makna dalam ungkapan
dan beralih dari kata dan kalimat kepada posisi terintegrasi yang memuat
rangkaian peristiwa berseri dan berhubungan. Biasanya, metode ini digunakan
pada tahap awal mempelajari sesuatu.
Pengajar memberikan beberapa aktifitas dengan satu tema, kemudian mengiringinya
dengan memberikan penjelasan tentang masing-masing aktifitas dari seluruh
aktifitas tersebut. Setelah itu para pelajar melakukan aktifitas tersebut dalam
beberapa kelompok kecil. Kemudian salah
satu kelompok berbicara dalam bentuk paduan suara, atau meminta masing-masing
pelajar menjelaskan apa yang ia lakukan atau masing-masing pelajar berputar dan
berbicara sambil melakukan apa yang ia katakan.
Misalnya, pengajar
berdiri dari tempatnya dan menuju ke pintu lalu membuka kemudian menguncinya.
Ketika ia melakukan hal itu ia berkata:
نا أقوم
من مكاني, أنا أتجه الى الباب, أنا أغلق الباب. أ
Pengajar mengulangi
perbuatannya tersebut beberapa kali. Kemudian setelah itu ia mulai berdiri dari
tempatnya dan bertanya: ماذا أفعل الأن؟ Salah satu pelajar menjawab:
نت تتجه
الي الباب أ
Demikianlah,
pengajar terus mengulangi melakukan aktifitas beruntun disertai dengan
pertanyaan dan jawaban. Proses belajar dengan model ini akan berkembang
disertai berkembangnya beberapa kalimat dan reaksi, misalnya:
a. Pelajar mengeluarkan buku dari tasnya dan ia berkata: أنا أخرج الكتاب من الحقيبة
b. Ia meletakkan buku di atas meja: أنا أضع الكتاب علي المكتب
c.
Ia
membuka buku halaman 17: أنا أفتح علي صفحة 17
Dan seterusnya.
Setelah itu pengajar dapat mengembangkan respon pembicaraan, seperti merubah
waktu pertanyaan. Ia dapat bertanya:
ما أول
شئ فعلته منذ قليل؟ لقد قمت من مكانك. Dan sebagainya. Dengan terus melakukan perubahan bentuk pertanyaan dan
merubah waktu pekerjaan latihan berbicara dan berdialog akan tumbuh. Selain
itu, akan bertumbuh pula bentuk-bentuk jawaban pada para pelajar dan pada
akhirnya, akan tumbuh struktur dan kalimat yang akan membantu mereka dalam
berbicara.
Di antara posisi
yang memungkinkan dijadikan rangkaian aktifitas adalah “bangun tidur”, “pergi
bekerja”, “pulang bekerja”, “pergi ke pasar”, “naik pesawat”.
Dalam model latihan
ini melatih para pelajar dapat dilakukan dengan menggunakan waktu kata kerja (fi’il),
dlamir, harf jar, dzarf al-zaman dan dzarf zaman. Di sini,
gramatikal digunakan secara terapan dalam bentuk kalimat dan ungkapan yang
dapat mengungkapkan benda-benda nyata yang ada dalam kehidupan para pelajar. Di
antara keistimewaan model ini adalah memberikan kebiasaan bahasa dengan tingkat
kebenaran yang tinggi kepada para pelajar. Biasanya, kesalahan-kesalahan hanya
terjadi sedikit, karena rangkaian peristiwa telah menguatkan dan mengarahkan
pengungkapan. Setiap kalimat akan menghasilkan kalimat berikutnya. Titik awal
dan berseri ini membuat pelajar dapat mengetahui kesalahan dan membenarkannya,
antara satu dengan rekannya.
Di antara kelebihan
teknik ini juga adalah memungkinkan pelajar menguasai arti-arti kata dengan
mudah dan jelas, karena adanya hubungan secara langsung antara kata dan arti
kata, baik dalam bentuk sesuatu yang menunjukkan orang yang berbicara yang
dilihat langsung. Hal ini akan mengesampingkan penggunaan terjemahan dan kamus
penerjemah. Teknik ini juga akan membantu pelajar dalam mengingat bahasa dan
memanggil kembali bahasa tersebut dalam pembicaraan baru dengan sangat mudah,
dibanding dengan menyuguhkan arti-arti kata dalam kalimat terpisah atau
kosa-kata tersendiri.
Kelebihan kedua
berada pada kemungkinan penggunaan teknik ini dalam melatih para pelajar dengan
ungkapan yang bebas sehingga mereka dapat menggunakan realita dan pikiran
mereka serta pengaturan berbicara yang telah mereka peroleh. Hal ini disebabkan
bahwa mereka telah terbiasa dengan posisi berbicara yang berhubungan dengan
kenyataan hidup dan peristiwa sehari-hari.[23]
3.
Tanya
Jawab
Metode tanya jawab
dianggap sebagai metode yang paling tepat dan lugas serta sangat efektif dalam
pembelajaran dialog dengan Bahasa Arab (muhadatsah). Umumnya, pengajar
memulai teknik ini dengan melakukan tanya jawab singkat. Seiring dengan
perkembangan kemampuan para pelajar merespon secara lisan, pengajar akan
beralih ke tahap yang lebih maju, sehingga ia bergerak maju dari yang mudah ke
yang lebih sulit, dari posisi kecil menjadi ke posisi utama yang hanya
menghabiskan beberapa detik. Demikianlah, tanya jawab secara lisan yang
sebenarnya dilakukan dengan dialog antara dua orang atau lebih.
Metode tanya jawab
membutuhkan kejelian tinggi dalam merumuskan pertanyaan dan memikirkan
keterterimaan pertanyaan tersebut. Sehingga, sangat tidak tepat membuat pertanyaan
secara asal, baik terkait kandungan ataupun bentuk pertanyaannya. Karakter pertanyaan yang harus didahulukan
dalam metode ini selayaknya memuat hal-hal berikut:
a.
Jawaban
mudah dan jelas, yang tidak memerlukan aktifitas sehingga tidak perlu memberikan
lebih dari satu kata terhadap bentuk pertanyaan.
b.
Jawaban
tidak memerlukan kata-kata dan kenyataan serta struktur yang belum diketahui
pelajar, cukup menggunakan waktu kata kerja dalam bentuk pertanyaan.
c. Jawaban langsung dimana pertanyaan akan dapat membantu pelajar memahami
susunan bahasa.
Pertanyaan harus
meningkat dari yang mudah menjadi sulit, sederhana menjadi rumit, sehingga
menjadi pertanyaan yang mendorong penjelasan panjang tentang sesuatu atau
perkara atau peristiwa apapun. Pada tahap ini, pertanyaan dapat keluar dari cakupan teks buku
dan tembok sekolah, sehingga mencakup kebun, industri, pasar, rumah sakit,
transportasi, kantor pos dan lain sebagainya.[24]
D.
Peran
Guru dalam Pembelajaran Kalam
Kemahiran berbicara
adalah salah satu kemahiran bahasa yang paling banyak menuntut upaya pengajar
(guru). Oleh karena itu, tanggung jawab pengajar dalam pertumbuhan kemahiran kalam
para pelajar adalah tanggung jawab besar dan menuntut upaya yang tinggi. Ketika
kita menyebut sarana dan cara dan kita menghitung metode dan tahapan, maka
pengajar adalah satu-satunya orang membangkitkan kehidupan dalam sarana, cara
dan metode ini. Kita juga tidak lupa bahwa ketika kita mengatakan cara, maka
kita tidak dapat melupakan pengajar. Ketika kita mengatakan pengajar, maka kita
tidak dapat melupakan cara. Oleh karena itu dan untuk membantu pengajar
menjalankan perannya dan memenuhi tanggungjawabnya, di sini akan dipaparkan
beberapa arahan dan petunjuk mengenai hal tersebut.
Pertama, pengajar harus melapangkan dadanya terhadap kesalahan para pelajar
dan mencatatnya satu persatu hingga pengajar dapat meluangkan waktu untuk
mengobati dan memberikan latihan yang benar. Pengajar juga harus berusaha
mencegah diri untuk menginterfensi pembicaraan dan membenarkan kesalahan.
Sebab, interfensi dalam pembicaraan seperti ini biasanya akan mengakibatkan
keragu-raguan, gagap, takut lalu diam. Hal ini bukan berarti secara mutlak
pengajar tidak boleh mengiterfensi. Ada waktu khusus dimana ia harus ikut dalam
pembicaraan ketika memang benar-benar dibutuhkan. Pada saat itu pula ia harus
menegaskan kepada para pelajar bahwa kesalahan berbicara, terus mengulangi dan
tekun adalah hal yang sangat wajar, bahkan tidak dapat ditinggalkan. Akan tetapi,
seiring dengan waktu dan latihan berkomunikasi yang sebenarnya kesalahan
seperti ini akan hilang dan merespon pembicaraan akan lebih mudah, cepat dan
spontan.
Kedua, Chastain K. telah memberikan sekumpulan arahan sangat membantu bagi
pengajar dalam aktifitasnya. Di antara arahan tersebut adalah:
1.
Kesuksesan
belajar berbicara mengacu pada efektifitas keikutsertaan pelajar dalam kegiatan
bahasa. Pertumbuhan kemampuan berbicara adalah satu hal yang tidak mungkin
terjadi kecuali bila penutur masuk dalam pembicaraan dan berusaha mengungkapkan
sendiri. Sedangkan ketidakikutsertaan banyak pelajar dalam aktifitas berbicara
meskipun mereka datang untuk belajar bahasa akan menghasilkan kegagalan belajar
mereka dalam berbicara, karena beberapa sebab:
a)
Membiasakan
berbicara lebih sulit daripada duduk dan mendengarkan pengajar atau beralih
dari alam nyata dari mimpi-mimpi dalam keadaan sadar.
b)
Banyak orang
yang merasa tidak nyaman ketika harus mengulang-ulang pada upaya pertama
berbicara.
c)
Banyak pelajar
yang merasa berlebihan dengan apa yang ada dan tidak suka melakukan kesalahan
apapun atau berperilaku seperti orang bodoh di depan teman-temannya.
d)
Takut gagal,
ejekan dan cemoohan.
Senang berbicara adalah satu hal nyata dan utama, akan
tetapi ketidakmampuan diri dan sosial dalam berbicara juga termasuk hal nyata
dan dapat dirasakan. Oleh karena itu, sudah semestinya pengajar harus
mengarahkan perhatiannya terhadap mereka yang memerlukan dorongan dan berusaha
mengalahkan kesulitan semacam ini yang menghalangi jalan kemampuan fungsional
untuk berbicara.
2.
Pengajar
sudah seharusnya menyadari bahwa menjaga pelajaran bahasa khususnya pelajaran
berbicara berhubungan erat dengan kesuksesan. Kemampuan berbicara tidak dapat
tumbuh dan berkembang di kelas yang para pelajarnya takut menjawab dan
berbicara, karena takut salah. Oleh karena itu, kita mendapati bahwa
kepercayaan diri dan perhatian yang menjadi awal bagi pelajar adalah satu hal
yang harus disantap oleh pengajar dengan kata-kata penerimaan dan penuh
kebaikan, dengan memberikan suasana releks tanpa tekanan dan dengan penjelasan
beberapa hal, seperti bahwa tertawa tidak dapat dihindari ketika mengucapkan
bahasa dengan bentuk yang tidak benar dan bahwa usaha dan kesalahan adalah cara
paling mudah untuk mempelajari bahasa.
Berusaha memberikan suasana kasih sayang dan
persahabatan di dalam kelas adalah satu hal akhir yang dicari dalam belajar
bahasa. Oleh karena itu, pengajar
dituntut terus-menerus bersiap menerima dan mengarahkan berbagai upaya pelajar
dan upaya mereka, dan menyebarkan pemikiran atau gambaran apapun yang dimiliki
oleh para pelajar, bahwa mereka mampu berbicara. Pengajar juga harus memberikan
rasa bebas ketika bergabung dalam berbicara, memandang -sebagaimana telah saya
sebutkan sebelumnya- bahwa kesalahan yang dianggap sesuatu yang wajar tidak
dapat dihindari bahkan termasuk bagian pasti dalam belajar bahasa asing, juga
harus memandang bahwa pembenaran bahasa termasuk bagian sekunder dalam hitungan
dan menjadi makanan rujukan yang dapat memberikan suara, bentuk, bentuk dan
struktur yang benar kepada pelajar.
3.
Pengajar
sudah semestinya menyadari bahwa kesinambungan dan proses bertahap adalah satu
hal penting dalam menumbuhkan kemahiran berbicara. Tingkat yang sulit dalam
aktifitas lisan sebaiknya diatur dan mulai dilalui dengan cara yang menjadikan
pelajar dapat merespon, sebab tingkat terdahulu telah disiapkan dengan
persiapan yang cukup untuk berinteraksi dengan aktifitas, bila tidak, maka
keberaniannya akan hilang dan ia tidak mau bergabung dalam kelas dan ia akan
meninggalkan pelajaran bahasa pada kesempatan pertama kalinya.
4.
Dalam latihan
berbicara yang dilakukan berdasarkan pertanyaan dan jawaban singkat pengajar
membutuhkan sesuatu melebihi kemampuannya dalam menggunakan cara tersebut. Pengajar
perlu sesuatu yang disebut aktifitas, vitalitas dan kecerdasan pengajar.
Menggunakan hal ini untuk pertanyaan dan
jawaban singkat dan cepat diperlukan oleh pengajar agar dapat beralih
pertanyaan dengan cepat dari satu pelajar ke pelajar lainnya, dapat membenarkan
dengan singkat dan cepat dan mampu menarik jawaban dengan cekatan dan efektif
dari mulut para pelajar. Kehidupan, aktifitas, gerakan, rangsangan, memberi
daya tarik adalah sifat-sifat wajib bagi pengajar dalam proses belajar
berbicara. Dalam kemampuan pengajar mewujudkan kesuksesan yang lebih besar,
bila di tengah-tengah aktifitasnya ia mampu mengucapkan orang yang ada dalam ia
ingat, baik yang ikut belajar ataupun tidak ikut, yang berinteraksi dan yang
tidak berinteraksi, dan sebagainya. Selanjutnya, ia mulai mengkhususkan waktu
untuk belajar sendiri dengan memberikan perhatian terfokus terhadap mereka,
yang dapat mendorong mereka untuk ikut serta dan berinteraksi. Akan sangat baik
bila ia mengikutsertakan semua itu dengan kata-kata penyemangat, seperti
“bagus”, “kalimat ini benar”, “tambahan baru dan baik”, “jawaban yang benar dan
tepat”, “ucapan yang indah, sama seperti orang Arab asli”, “sebuah kata baru”,
“saya tidak pernah berfikir bahwa kamu tahu itu”, dan lain sebagainya.[25]
E.
Penutup
Kemahiran berbicara sangat penting dalam sebuah pembelajaran bahasa.
Bahkan orang yang mahir dalam berbicara dengan suatu bahasa, sudah dianggap
“tahu” akan bahasa tersebut. Dan peran guru dalam proses pembelajaran kalam
sungguh besar. Penggunaan strategi yang sesuai dengan keadaan peserta didik secara
komunal, yang telah diidentifikasi sebelum nya akan sangat berpengaruh pada
hasil atau tujuan belajar.
Dari sekian banyak teori tentang strategi pembelajaran kalam, baik yang
konvensional maupun kontemporer sesungguhnya tidak akan mendatangkan manfaat
besar jika guru sebagai ruh dalam sebuah kelas bahasa tidak dapat menggunakan
kreatifitas nya dalam mengaplikasikan berbagai strategi tersebut. Guru yang
secara akademis berkualifikasi tinggi dalam belajar Bahasa Arab, belum tentu ia
akan pandai pula dalam mengajar, karena seperti banyak dikatakan “teaching
is art”, dan di dalam art itu, tentu membutuhkan kreatifitas. Selain guru juga harus punya rasa empati terhadap peserta didik
nya.
Daftar Pustaka
Al Hazimī, Muhammad Ibn Mar’ī, Daurah al Shayfiyah al Tsāniyah li Mu’alimī al Lughoh al ‘Arabiyyah fī Jāmi’at al Indūnisiyah wa al Mudarris al Singhāliyah, Tadris Mahārāt Lughowiyah, Makkah: Jāmi’ah Umu al
Qurā.
Chaney,
A.L., T.L. Burke, Teaching Oral Communication in Grades K-8. Boston:
Allyn and Bacon, 1998.
Djamarah, Aswan Zain, Strategi Belajar
Mengajar, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2006.
Fuad
Mustafid, Pengantar Redaksi di Eckehard Schulz, Al Lughah Al ‘Arabiyyah Al
Mu’ashirah, Bahasa Arab Baku dan Modern, versi Indonesia, Yogyakarta: LKis
Yogyakarta, 2011
Henry
Guntur Tarigan, Metodologi Pengajaran Bahasa I, Bandung: Penerbit
Angkasa, 1991.
Huebner,
Theodore, Audio Visual Technique in Teaching Foreign Language, New York:
Cambridge University Press, 1960.
M. Abdul Hamid dkk, Pembelajaran Bahasa Arab,
Pendekatan, Metode, Strategi, Materi dan Media, Malang: UIN-Malang Press
(Anggota IKAPI), 2008.
Naqoh, Mahmud Kamil, Ta’līm al Lughah al ‘Arabiyyah li al Nātiqīn bi lughoh al Ukhro, Makkah: Jāmi’ah Umu al
Qurā, 1985.
Oxford Advanced
Dictionary. Oxford: Oxford University Press, 1995.
Radliyah
Zaenuddin dkk, Metodologi & Strategi Alternatif Pembelajaran Bahasa Arab,
Yogyakarta: Pustaka Rihlah Group, Des. 2005.
Richards,
Jack C, Teaching Speaking Theories and Methodologies, p.4,
www.professorjackrichards.com
Syaiful Bahri Djamarah, Aswan Zain, Strategi
Belajar Mengajar, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2006.
Tompkins,
Gail E, Kenneth Hoskisson, Language Arts, Content and Teaching Strategies,
3rd, Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice-Hall, Inc. A Simon &
Schuster Company, 1995.
[1] Muhammad Ibn Mar’ī al Hazimī, Daurah al Shayfiyah al Tsāniyah li Mu’alimi al Lughoh al ‘Arabiyyah fī Jāmi’at al Indūnisiyah wa al Mudarris al Singhāliyah, Tadrīs Mahārāt Lughawiyah, (Makkah: Jāmi’ah
Umu al Qurā), hlm. 50.
[2] Henry Guntur
Tarigan, Metodologi Pembelajaran Bahasa I, (Bandung: Penerbit Angkasa,
1991), cet. 10, hlm. 15.
[4] A. L. Chaney
and T. L. Burke, Teaching Oral Communication in Grades K-8, (Boston:
Allyn & Bacon, 1998), hlm. 13.
[5] Theodore
Huebner, Audio Visual Technique in Teaching Foreign Language, (New York:
Cambridge University Press, 1960), hlm. 5.
[6] Ibid
[7] Mahmud Kamil
Naqoh, Ta’līm al Lughah al
‘Arabiyyah li al Nātiqīn bi
lughoh al Ukhro, (Makkah:
Jāmi’ah Umu al Qurā, 1985), hlm. 153.
[8] Disarikan dari
Ibid
[9] Ibid
[10] Gail E.
Tompkins, Kenneth Hoskisson, Language Arts, Content and Teaching Strategies,
(Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice-Hall, Inc. A Simon & Schuster
Company, 1995), 3rd edition, hlm. 120.
[12]Jack C.
Richards, Teaching Speaking Theories and Methodologies, p.4, dalam www.professorjackrichards.com
[13] Fuad Mustafid,
Pengantar Redaksi dalam Eckehard Schulz, Bahasa Arab Baku dan Modern, al
Lughah al ‘Arabiyyah al Mu’ashirāh, versi
Indonesia, (Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2011), hlm. iii.
[14] Mahmud Kamil Naqoh, Ta’līm al Lughah al ‘Arabiyyah………………. hlm. 157-158. Klasifikasi tujuan pembelajar mubtadi’, mutawasith dan
mutaqaddim berdasarkan analisa penyusun makalah.
[15] Ibid.,
hlm. 158-159.
[16] Ibid.,
hlm. 159.
[17] Ibid.,
hlm. 161-163.
[18] Ibid.,
hlm. 164.
[19] Ibid.,
hlm. 165-166.
[20]M. Abdul Hamid dkk, Pembelajaran Bahasa Arab, Pendekatan, Metode,
Strategi, Materi dan Media, (Malang: UIN-Malang Press (Anggota IKAPI),
2008), hlm. 4. Technique, yang dalam Bahasa Arab disebut uslūb atau yang familiar di
Indonesia disebut strategi, yaitu kegiatan spesifik yang sesungguhnya terjadi
di dalam kelas dan merupakan implementasi daripada metode. Bisa dikatakan bahwa
strategi atau tehnik ini merupakan operasionalisasi dari metode. Radliyah Zaenuddin dkk, Metodologi & Strategi Alternatif
Pembelajaran Bahasa Arab, (Yogyakarta: Pustaka Rihlah Group, Des. 2005),
cet. I,
hlm. 32. Technique bersifat operasional. Syaiful Bahri Djamarah,
Aswan Zain, Strategi Belajar Mengajar, (Jakarta: PT. Rineka Cipta,
2006), cet.III, hlm. 5. Strategi (belajar mengajar), bisa diartikan sebagai
pola-pola umum kegiatan guru dan anak didik dalam perwujudan kegiatan belajar
mengajar untuk mencapai tujuan yang
telah digariskan.
[22] Ibid.,
hlm. 167-169.
[23] Ibid.,
hlm. 169-171.
[24] Ibid.,
hlm. 172-173.
[25] Ibid.,
hlm. 177-181.
0 komentar:
Posting Komentar